Pendanaan adalah suatu cara
pengalihan sumber daya dari pemilik kekayaan ke unit yang membutuhkan dana.
Ruang lingkup dari pendanaan berhubungan dengan konsep waktu, uang, dan risiko
dan bagaimana keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Pendanaan juga terkait
dengan bagaimana uang dikeluarkan dan dianggarkan. Di dalam ekonomi
konvensional, pendanaan dapat berupa pinjaman dengan bunga, mengeluarkan saham
dan mengajukan kredit dalam bentuk tunggakan pembayaran dalam pembelian barang
dan jasa.
Dasar
dari para pemikir Islam untuk mengidentifikasi sistem ekonomi berdasarkan bunga
adalah adanya larangan secara eksplisit dari Allah di dalam Al-Qur’an. Adapun beberapa pengantar terkait ekonomi Islam antara lain:
1.
Syari’ah hanya
dikenakan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kepemilikan sebuah aset
untuk mendapatkan keutungan atau untuk meningkatkan nilai dari suatu aset.
2. Seluruh
hubungan pertukaran yang menunda pembayaran dari suatu harga atau pengiriman
barang dan jasa memenuhi fungsi dasar dari pendanaan.
3. Pemberian
pinjaman (lending) adalah suatu
hubungan yang saling menguntungkan yang tidak membuat kreditur meminta return karena kreditur tersebut bukanlah
pemilik sumber pendanaan yang pembayarannya dijamin oleh debitur.
Di
dalam sistem keuangan syariah itu sendiri ada beberapa prinsip yang harus
dipatuhi, dimana prinsip-prinsip ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah,
yaitu:
1.
Pelarangan riba
Riba adalah segala kelebihan yang
disyaratkan dan dibayarkan pada saat pengembalian pinjaman. Riba ini mencakup
segala bentuk rate yang ditetapkan di
awal sebagai syarat pinjaman yang dihitung berdasarkan waktu jatuh tempo dan
besar pokok. Oleh karena itu, dalam sistem keuangan syariah tidak diperkenankan
adanya segala bentuk pembayaran dan penerimaan bunga. Dalam prinsip ini sangat
ditekankan nilai-nilai keadilan sosial. Karena, segala bentuk pinjaman tidak
mensyaratkan pengembalian pokok ditambah bunga, melainkan profit sharing, yang besarnya sangat ditentukan oleh performa dan
keberhasilan usaha yang pembiayaannya dibantu oleh investor dalam basis equity-sharing, bukan hutang. Profit sharing ini meniadakan unsur
ketidakpastian sebagaimana terdapat dalam pembayaran bunga hutang, karena kita
ketahui tingkat bunga bersifat mengikat dan memastikan pembayaran oleh peminjam
bagaimanapun kondisi keberhasilan usahanya.
2.
Risk-sharing
Dalam sistem keuangan syariah, mereka yang kelebihan dana menyalurkan
dananya tidak mengambil peran sebagai kreditor, melainkan investor. Tentu saja
peran sebagai pemberi modal ini menjadikan mereka turut menerima risiko
usahanya.
3.
Uang sebagai modal potensial
Uang memiliki sifat potensial
sebagai modal, dan menjadi modal secara aktual hanya ketika uang tersebut sudah
masuk ke dalam aktivitas usaha. Oleh karena itu, time value of money, dalam sistem syariah hanya terjadi ketika uang
sebagai modal aktual.
4.
Pelarangan tindakan spekulatif
Di dalam
syariah Islam dilarang melakukan segala kegiatan yang bersifat spekulatif yang
dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu dalam setiap aktivitas
keuangan di dalam Islam haruslah dinyatakan secara jelas resiko yang akan
diahadapi dan keuntungan yang dapat diperoleh.
5.
Kesakralan perjanjian
Dalam sistem syariah, setiap
transaksi memiliki nilai yang luhur, bahkan karena begitu penting dan sakralnya
perjanjian, semuanya diatur dalam akad-akad yang bentuknya disesuaikan dengan
setiap bentuk transaksi. Maka, semua kewajiban dalam kontrak dan segala
informasi yang diperlukan kedua belah pihak harus benar-benar dipenuhi.
6.
Aktivitas yang diterima secara
syari’ah
Pemilik dana hanya boleh
berinvestasi ke dalam usaha yang aktivitas usahanya diterima secara syariah.
Investasi ke dalam usaha misalnya usaha minuman keras dan perjudian menjadi
tidak diperkenankan.
No comments:
Post a Comment