Monday, April 21, 2014

Prinsip Pendanaan dan Keuangan Islam

Pendanaan adalah suatu cara pengalihan sumber daya dari pemilik kekayaan ke unit yang membutuhkan dana. Ruang lingkup dari pendanaan berhubungan dengan konsep waktu, uang, dan risiko dan bagaimana keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Pendanaan juga terkait dengan bagaimana uang dikeluarkan dan dianggarkan. Di dalam ekonomi konvensional, pendanaan dapat berupa pinjaman dengan bunga, mengeluarkan saham dan mengajukan kredit dalam bentuk tunggakan pembayaran dalam pembelian barang dan jasa.
            Dasar dari para pemikir Islam untuk mengidentifikasi sistem ekonomi berdasarkan bunga adalah adanya larangan secara eksplisit dari Allah di dalam Al-Qur’an. Adapun beberapa pengantar terkait ekonomi Islam antara lain:
1.      Syari’ah hanya dikenakan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kepemilikan sebuah aset untuk mendapatkan keutungan atau untuk meningkatkan nilai dari suatu aset.
2.      Seluruh hubungan pertukaran yang menunda pembayaran dari suatu harga atau pengiriman barang dan jasa memenuhi fungsi dasar dari pendanaan.
3.      Pemberian pinjaman (lending) adalah suatu hubungan yang saling menguntungkan yang tidak membuat kreditur meminta return karena kreditur tersebut bukanlah pemilik sumber pendanaan yang pembayarannya dijamin oleh debitur.
Di dalam sistem keuangan syariah itu sendiri ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi, dimana prinsip-prinsip ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
1.    Pelarangan riba
Riba adalah segala kelebihan yang disyaratkan dan dibayarkan pada saat pengembalian pinjaman. Riba ini mencakup segala bentuk rate yang ditetapkan di awal sebagai syarat pinjaman yang dihitung berdasarkan waktu jatuh tempo dan besar pokok. Oleh karena itu, dalam sistem keuangan syariah tidak diperkenankan adanya segala bentuk pembayaran dan penerimaan bunga. Dalam prinsip ini sangat ditekankan nilai-nilai keadilan sosial. Karena, segala bentuk pinjaman tidak mensyaratkan pengembalian pokok ditambah bunga, melainkan profit sharing, yang besarnya sangat ditentukan oleh performa dan keberhasilan usaha yang pembiayaannya dibantu oleh investor dalam basis equity-sharing, bukan hutang. Profit sharing ini meniadakan unsur ketidakpastian sebagaimana terdapat dalam pembayaran bunga hutang, karena kita ketahui tingkat bunga bersifat mengikat dan memastikan pembayaran oleh peminjam bagaimanapun kondisi keberhasilan usahanya.
2.    Risk-sharing
Dalam sistem keuangan syariah, mereka yang kelebihan dana menyalurkan dananya tidak mengambil peran sebagai kreditor, melainkan investor. Tentu saja peran sebagai pemberi modal ini menjadikan mereka turut menerima risiko usahanya.
3.    Uang sebagai modal potensial
Uang memiliki sifat potensial sebagai modal, dan menjadi modal secara aktual hanya ketika uang tersebut sudah masuk ke dalam aktivitas usaha. Oleh karena itu, time value of money, dalam sistem syariah hanya terjadi ketika uang sebagai modal aktual.
4.    Pelarangan tindakan spekulatif
Di dalam syariah Islam dilarang melakukan segala kegiatan yang bersifat spekulatif yang dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu dalam setiap aktivitas keuangan di dalam Islam haruslah dinyatakan secara jelas resiko yang akan diahadapi dan keuntungan yang dapat diperoleh.
5.    Kesakralan perjanjian
Dalam sistem syariah, setiap transaksi memiliki nilai yang luhur, bahkan karena begitu penting dan sakralnya perjanjian, semuanya diatur dalam akad-akad yang bentuknya disesuaikan dengan setiap bentuk transaksi. Maka, semua kewajiban dalam kontrak dan segala informasi yang diperlukan kedua belah pihak harus benar-benar dipenuhi.
6.    Aktivitas yang diterima secara syari’ah

Pemilik dana hanya boleh berinvestasi ke dalam usaha yang aktivitas usahanya diterima secara syariah. Investasi ke dalam usaha misalnya usaha minuman keras dan perjudian menjadi tidak diperkenankan.

No comments: