Integrasi perekonomian dunia bukanlah
suatu hal yang baru di Islam. Kesatuan umat manusia (Unity of mankind) terkait erat dengan Unity of God (Tawhid). Jika Tuhan satu maka umat manusia pun satu. Perbedaan
kebangsaan, ras, dan warna tidak mendapat tempat dalam Islam, karena seluruh
umat manusia adalah saudara. Al-Qur’an, 10:19 menyebutkan bahwa dahulu seluruh umat manusai adalah satu bangsa (ummah). Namun karena mereka berselisih
maka mereka pun terbagi-bagi. Bahkan, Al-Qur’an 11:118 menyebutkan bahwa
tujuan utama Islam adalah menjadikan manusia umat yang satu.
Terdapat berbagai cara untuk menjadikan
manusia umat yang satu. Salah satunya menciptakan pemahaman yang lebih diantara
umat manusia melalui peningkatan interaksi dan kerja sama dengan menghilangkan
prasangka yang belum tentu benar, kesalahan pemahaman, dan konflik. Melalui
integrasi perekonomian dunia, dimana seluruh hambatan dihilangkan, maka akan
meningkatkan aliran barang, modal, tenaga kerja, teknologi, dan informasi.
Interaksi diantara umat manusia pun meningkat.
Peran Keadilan dalam suatu Integrasi
Islam menggarisbawahi bahwa proses integrasi tersebut tidak
akan sukses jika tidak terdapat keadilan didalam proses tersebut, dimana termuat
dalam al-Qur’an, 57:25.
Keadilan versus Negosiasi
Islam dan konsep New Global Economy memiliki tujuan yang sama, yaitu integrasi
perekonomian dunia. Akan tetapi, strategi untuk mencapai tujuan tersebut
berbeda. Islam menekankan keadilan berdasarkan moral. Sedangkan, New Global Economy mengandalkan
negosiasi berdasarkan kepentingan pribadi (self-interest).
New Global Economy berpegang teguh
pada Neoclassical Economics yang sekular dimana tidak
memberi ruang pada pertimbangan nilai dan tujuan utamanya adalah maksimalisasi
kekayaan dan kepuasan, sedangkan self-interest
sebagai motivasi utamanya.
Hal tersebut, tentu saja tidak akan menciptakan keadilan
karena berbagai hal seperti apa yang benar dan apa yang salah, apa yang adil
dan apa yang tidak adil, dan apa yang diperlukan sekali dan apa yang tidak
diperlukan sekali, membutuhkan pertimbangan nilai. Pengharaman yang dilakukan Neoclassical Economics terhadap pertimbangan nilai membuatnya menolak basis
moral untuk merealisasikan keadilan. Alih-alih yang menjadi basis untuk
merealisasikan keadilan adalah self-interest dimana semua pihak memperjuangkan
self-interest masing-masing melalui jalan negosiasi. Kelemahan negosiasi adalah
pihak yang kaya dan memiliki kekuatan yang besarlah yang bisa memenangkan self-interestnya.
Pendekatan Multidisiplin
Karena konsep
Islam satu Tuhan direfleksikan dalam kesatuan umat manusia, konsep Islam itu
juga direfleksikan dalam kesatuan kehidupan manusia.
Semua aspek
dalam kehidupan manusia –moral, intelektual sosial, sejarah, politik dan
demografi- saling berkaitan erat. Aspek-aspek ini saling mempengaruhi satu sama
lain sehingga tidak mungkin mempelajari ekonomi tanpa melibatkan aspek
kehidupan manusia.
Kontribusi pelajar-pelajar Muslim
Konsep Islam
tentang kesatuan umat manusia dan kehidupan manusia direfleksikan dalam pikiran
ekonomi Islam sejak periode awal sejarah Islam hingga mencapai kulminasi di
model sosio-ekonomi dan dinamika politik Ibn Khaldun.
Model ekonomi
ini mengacu pada Asabiyah yang merupakan kelompok solidaritas yang membantu
mengurangi konflik dan permusuhan, mendorong kerja sama saling menguntungkan
dan bebas, dan mempercepat pembangunan.
Ibn Khaldun
menjelaskan mengapa kerja sama dan saling ketergantungan yang Asabiyah dorong
akan mempercepat pembangunan. Selanjutnya pembagian tenaga kerja dan
spesialisasi akan meningkatkan efisiensi dan menaikkan output bebrapa kali.
Keyakinan atau
pendirian Ibn Khaldun bahwa spesialisasi sangat diperlukan untuk pertumbuhan
ekonomi. Ibn Khaldun adalah pelopor teori keunggulan komparatif yang
selanjutnya dijadikan teori perdagangan internasional.
Ibn Khaldun juga
memberikan penjelasan mengapa perdagangan membangkitkan pembangunan.
Pembangunan bergantung kepada aktivitas ekonomi dan pembagian tenaga kerja yang
pada gilirannya bergantung kepada besarnya suatu pasar.
Maka, dalam
kerangka kerja baik pengajaran Islam maupun pemikiram Ekonomi Islam, ada logika
kuat untuk mendorong perdagangan antar bangsa. Karena hal itu mendorong
pertumbuhan dan menurunkan biaya hidup.
Sangat kontras
dengan ekonomi neoklasik, para pelajar Islam telah memakai pendekatan
inter-disiplin dalam analisis mereka dan tidak fokus hanya pada variable
ekonomi. Mereka juga mempertimbangkan aspek kemanusiaan seperti moral,
intelektual, social, demografi, sejarah, dan faktor politik.
Pendekatan
inter-disiplin ini mencapai puncaknya di sosioekonomi dan politik dinamis Ibn
Khaldun muqaddimah. Jadi, pemikiran sosioekonomi dan variable politik dan New Global Economy adalah bukan hal baru
dalam pemikiran ekonomi Islam.
Perhatian pada Keadilan Islam dalam Pemikiran
Ekonomi Islam
Ibn Khaldun
sebagaimana pendahulunya menyadari bahwa pembagian kerja dan spesialisasi tidak
akan bertahan tanpa adanya keadilan. Ketidakadilan tidak hanya melukai saling
ketergantungan, tapi juga mengurangi insentif untuk bekerja lebih keras,
investasi, dan inovasi. Ekspansi yang diinginkan dalam output tujuan
spesialisasi tidak akan tercapai. Pasar tidak akan berkembang dan pembangunan
tidak berjalan.
Semua ahli hukum
sepanjang sejarah Islam mengatakan bahwa keadilan adalah proses pengambangan
yang sangat diperlukan. Mereka berkata, “ tidak ada sesuatu yang menghancurkan
dunia dan hati nurani kecuali ketidakadilan”.
Keadilan,
menurut Ibn Khaldun, memerlukan “wazi” (wewenang politis) untuk membuat fungsi
pasar smooth, dan menciptakan
lingkungan yang baik untuk mewujudkan pembangunan yang berkeadilan. Saat ini
sudah ada WTO. Namun sayang, WTO didominasi oleh negara-negara industri besar.
Integrasi yang
berkelanjutan hanya dapat terjadi jika ada keadilan. Jika tidak ada keadilan,
integrasi awalnya terjadi, namun kan terjadi frustasi ketika menyadari manfaat
integrasi tidak didistribusikan secara merata.
No comments:
Post a Comment