Sistem keuangan pada zaman Rasulullah menggunakan bimetalic
standard yaitu dinar dan dirham. Nilai tukar emas dan perak pada zaman
Rasulullah relatif stabil dengan nilai kurs dinar dirham 1 : 10. Dinar Islam
adalah uang emas 22 karat sebesar 4,25 gram (hasil ukuran berat 1 dinar Islam
yang diterbitkan pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan – Khalifah ke-5 Bani
Umayah). Dinar dan Dirham memang sudah ada sejak sebelum Islam lahir, karena
Dinarium (Dinar) sudah dipakai di Romawi sebelumnya dan Dirham sudah dipakai di
Persia. Apa-apa yang ada sebelum Islam tidak dilarang atau bahkan juga
digunakan oleh Rasulullaah SAW, maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir)
Rasulullah SAW, yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri,
Dinar dan Dirham masuk kategori ini. Apabila ditambah dengan masa kejayaan
Islam yaitu mulai dari awal kenabian Rasulullah SAW (610) sampai dengan Turki
Usmaniyah di abad ke 17, maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata
uang modern yang dipakai paling lama dalam sejarah manusia (14 abad).
Klik untuk info lengkap
Klik untuk info lengkap
Perkembangan emas dalam sistem moneter konvensional mengalami
3 (tiga) kali evolusi, yaitu :
- The Gold Coin Standard, logam mulia emas
menjadi uang yang aktif dalam peredaran.
- The Gold Bullion Standard, logam emas
bukan sebagai alat tukar yang beredar, namun otoritas moneter menjadikan
logam emas sebagai parameter dalam
menentukan nilai tukar uang yang beredar.
- The Gold Exchange Standard (Bretton
Woods System), otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan
nilai tukar foreign currency yang mampu di back up secara penuh oleh cadangan emas yang dimiliki.
Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat
telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya
tidak di back up oleh emas dan perak.
Kegagalan Gold Standard dapat disimpulkan karena
adanya institusi keuangan yang meminjamkan uang dan mengenakan bunga pada peminjamnya.
Mereka sebenarnya mencetak uang karena uang. Untuk memenuhi kebutuhan uang di
pasaran karena adanya kebutuhan mencetak uang karena uang ini, maka Pemerintah
mencetak uang lebih banyak. Ketika uang di cetak dalam jumlah lebih karena
tidak ada pilihan lain, maka terjadilah inflasi.
Masalah ekonomi terjadi
seperti halnya inflasi, mulai menyerang Bretton Woods System pada awal tahun
1970-an. Langkah pertama yang menyerang sistem ini dilakukan oleh Nixon
Administration pada bulan Agustus 1971 ketika nilai dolar diturunkan dan
penukaran mata uang asing dari dollar ke emas di tahan (Rose, 1994). Fungsi emas sebagai medium alat tukar keuangan dihentikan,
dan fungsi emas adalah hanya sebagai komoditas. Keputusan ini menyebabkan harga
emas melonjak tajam dari $ 35 per ons menjadi $ 850 per ons (Hammel, 2002). Sejak itu tidak satupun
Negara di dunia mem-back up mata
uangnya dengan emas.
Berdasarkan kejadian di
atas yang mempengaruhi harga emas, kita dapat melihat bahwa emas mempunyai
kemampuan untuk menjadi dasar bagi stabilitas sistem keuangan. Fluktuasi harga
emas yang tercatat terjadi hanya ketika Federal Reserves memutuskan untuk
menjadikan emas sebagai barang komoditas yang bebas diperjualbelikan di
pasaran.
Berdasarkan literatur
tersebut, penulis tertarik untuk melihat implementasi keberadaan dinar dalam
kehidupan sehari-hari. Ketika Fatwa MUI No 1 Tahun 2004
tentang bunga bank riba dikeluarkan, maka sudah tidak ada lagi yang perlu
diperdebatkan tentang halal atau haramnya bunga bank, tinggal tantangannya
adalah bagaimana kita bisa mengikuti fatwa para ulama ini dengan mencari
solusinya.
Karena isi dari fatwa tersebut diatas tidak hanya
terbatas pada produk-produk perbankan tetapi juga menyangkut seluruh
produk-produk institusi keuangan lainnya. Lantas bagaimana para eksekutif dan
karyawan perbankan serta industri keuangan lainnya merespon fatwa ini?. Secara
umum saat itu terdapat empat kelompok yang merespon-nya secara berbeda. Kelompok
pertama adalah kelompok yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang adanya
fatwa tersebut diatas – bagi kelompok ini, ada atau tidak adanya fatwa riba ini
tidak berpengaruh sama sekali terhadap pekerjaannya hingga kini. Kelompok yang
kedua adalah kelompok yang tahu ada fatwa ini – tetapi mereka merasa ‘lebih
tahu’ tentang haram tidaknya bunga bank – maka bagi kelompok yang kedua
ini fatwa diatas juga tidak berpengaruh pada pekerjaannya. Kelompok yang
ketiga adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan berusaha mentaatinya –
hanya tidak atau belum tahu harus bagaimana. Kelompok yang keempat adalah
kelompok yang menerima fatwa tersebut dan mulai membuat rencana-rencana
bagaimana menjauhi riba dalam kehidupan modern yang bentuk-bentuk ribanya sudah
sangat sophisticated ini.
Melihat betapa sulitnya kita keluar dari lingkaran riba di jaman ini, maka
sangat bisa jadi jaman ini adalah jaman yang sudah dikabarkan ke kita oleh
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui haditsnya :
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa
(ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta)
riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena
debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, HR Sunan
Abu Dawud, HR. al-Nasa’i dari Abu Hurairah).
Terlepas dari adanya kritik sebagian masyarakat yang
menyatakan bahwa bank dan industri keuangan syariah-pun belum sepenuhnya
syar’i, maka alangkah lebih baik apabila kaum muslimin menggunakan yang sudah
berusaha menuju yang syar’i ini ketimbang yang terang-terangan tidak
menghiraukan fatwa riba ini.
Untuk bank konvensional yang infrastruktur teknologi
dan layanannya sudah jauh lebih unggul yang dalam realitasnya sudah banyak
memberi manfaat untuk kepentingan transfer dana dan sebagainya. Bisa saja
bank-bank seperti ini tetap digunakan tetapi produk-produk ribawinya harus
dihilangkan. Rekening koran misalnya tidak usah diberi bunga, tetapi gantinya
diberikan dalam bentuk layanan yang sebaik-baiknya – karena masyarakat yang
sadar keharaman bunga bank tidak membutuhkan bunga tetapi membutuhkan layanan
yang baik. Produk semacam deposito misalnya, tidak perlu lagi digunakan karena
kalau ada kelebihan dana – diputar di bisnis yang riil insyaAllah sudah akan
lebih baik daripada sekedar ditaruh di deposito.
Untuk produk-produk asuransi, dana pensiun, jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan sebagainya. harus ada perlindungan
konsumen muslim secara maksimal, jangan sampai pemenuhan kebutuhan hajat hidup
orang banyak ini dipenuhi atau dikelola secara ribawi. Bayangkan apabila ada
keluarga kita jatuh sakit, tetapi kemudian dirawat oleh perusahaan dengan
jaminan asuransi yang dikelola secara ribawi (berdasarkan fatwa tersebut
diatas) – do’a orang sakit yang seharusnya terkabulkan menjadi tidak
terkabulkan karena pengaruh riba yang bisa jadi tidak kita sadari.
Begitu pula ketika kita berangkat pensiun, sudah
seharusnya pada usia ini kita berusaha
mendekat kepada Sang Maha Pencipta. Tetapi tanpa kita sadari, dana pensiun yang
kita gunakan sebagai bekal sebagiannya berasal dari riba yang terbawa oleh
pengelolaan dana pensiun yang juga belum menghiraukan fatwa riba tersebut
diatas.
Solusi bank syariah, asuransi syariah, dana pensiun
syariah dan sebagainya bisa terus disempurnakan dan diupayakan untuk menjadi
solusi yang bener-bener syar’i.
Klik untuk info lengkap
Klik untuk info lengkap
No comments:
Post a Comment