Tuesday, April 15, 2014

Mengapa Umat Islam Harus Kembali ke Dinar

Sistem keuangan pada zaman Rasulullah menggunakan bimetalic standard yaitu dinar dan dirham. Nilai tukar emas dan perak pada zaman Rasulullah relatif stabil dengan nilai kurs dinar dirham 1 : 10. Dinar Islam adalah uang emas 22 karat sebesar 4,25 gram (hasil ukuran berat 1 dinar Islam yang diterbitkan pada masa khalifah Abdul Malik bin Marwan – Khalifah ke-5 Bani Umayah). Dinar dan Dirham memang sudah ada sejak sebelum Islam lahir, karena Dinarium (Dinar) sudah dipakai di Romawi sebelumnya dan Dirham sudah dipakai di Persia. Apa-apa yang ada sebelum Islam tidak dilarang atau bahkan juga digunakan oleh Rasulullaah SAW, maka hal itu menjadi ketetapan (Taqrir) Rasulullah SAW, yang berarti menjadi bagian dari ajaran Islam itu sendiri, Dinar dan Dirham masuk kategori ini. Apabila ditambah dengan masa kejayaan Islam yaitu mulai dari awal kenabian Rasulullah SAW (610) sampai dengan Turki Usmaniyah di abad ke 17, maka secara keseluruhan Dinar dan Dirham adalah mata uang modern yang dipakai paling lama dalam sejarah manusia (14 abad).

Klik untuk info lengkap

Perkembangan emas dalam sistem moneter konvensional mengalami 3 (tiga) kali evolusi, yaitu :
  1. The Gold Coin Standard, logam mulia emas menjadi uang yang aktif dalam peredaran.
  2. The Gold Bullion Standard, logam emas bukan sebagai alat tukar yang beredar, namun otoritas moneter menjadikan logam emas sebagai  parameter dalam menentukan nilai tukar uang yang beredar.
  3. The Gold Exchange Standard (Bretton Woods System), otoritas moneter menentukan nilai tukar domestic currency dengan nilai tukar foreign currency yang mampu di back up secara penuh oleh cadangan emas yang dimiliki.
Dengan perkembangan sistem keuangan yang demikian pesat telah memunculkan uang fiducier (kredit money) yaitu uang yang keberadaannya tidak di back up  oleh emas dan perak.
Kegagalan Gold Standard dapat disimpulkan karena adanya institusi keuangan yang meminjamkan uang dan mengenakan bunga pada peminjamnya. Mereka sebenarnya mencetak uang karena uang. Untuk memenuhi kebutuhan uang di pasaran karena adanya kebutuhan mencetak uang karena uang ini, maka Pemerintah mencetak uang lebih banyak. Ketika uang di cetak dalam jumlah lebih karena tidak ada pilihan lain, maka terjadilah inflasi.   

Masalah ekonomi terjadi seperti halnya inflasi, mulai menyerang Bretton Woods System pada awal tahun 1970-an. Langkah pertama yang menyerang sistem ini dilakukan oleh Nixon Administration pada bulan Agustus 1971 ketika nilai dolar diturunkan dan penukaran mata uang asing dari dollar ke emas di tahan (Rose, 1994). Fungsi emas sebagai medium alat tukar keuangan dihentikan, dan fungsi emas adalah hanya sebagai komoditas. Keputusan ini menyebabkan harga emas melonjak tajam dari $ 35 per ons menjadi $ 850 per ons (Hammel, 2002). Sejak itu tidak satupun Negara di dunia mem-back up mata uangnya dengan emas.  

Berdasarkan kejadian di atas yang mempengaruhi harga emas, kita dapat melihat bahwa emas mempunyai kemampuan untuk menjadi dasar bagi stabilitas sistem keuangan. Fluktuasi harga emas yang tercatat terjadi hanya ketika Federal Reserves memutuskan untuk menjadikan emas sebagai barang komoditas yang bebas diperjualbelikan di pasaran.  

Berdasarkan literatur tersebut, penulis tertarik untuk melihat implementasi keberadaan dinar dalam kehidupan sehari-hari. Ketika Fatwa MUI No 1 Tahun 2004 tentang bunga bank riba dikeluarkan, maka sudah tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan tentang halal atau haramnya bunga bank, tinggal tantangannya adalah bagaimana kita bisa mengikuti fatwa para ulama ini dengan mencari solusinya.

Karena isi dari fatwa tersebut diatas tidak hanya terbatas pada produk-produk perbankan tetapi juga menyangkut seluruh produk-produk institusi keuangan lainnya. Lantas bagaimana para eksekutif dan karyawan perbankan serta industri keuangan lainnya merespon fatwa ini?. Secara umum saat itu terdapat  empat kelompok yang merespon-nya secara berbeda. Kelompok pertama adalah kelompok yang tidak tahu atau tidak mau tahu tentang adanya fatwa tersebut diatas – bagi kelompok ini, ada atau tidak adanya fatwa riba ini tidak berpengaruh sama sekali terhadap pekerjaannya hingga kini. Kelompok yang kedua adalah kelompok yang tahu ada fatwa ini – tetapi mereka merasa ‘lebih tahu’ tentang haram tidaknya bunga bank – maka bagi kelompok yang kedua ini  fatwa diatas juga tidak berpengaruh pada pekerjaannya. Kelompok yang ketiga adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan berusaha mentaatinya – hanya tidak atau belum tahu harus bagaimana. Kelompok yang keempat adalah kelompok yang menerima fatwa tersebut dan mulai membuat rencana-rencana bagaimana menjauhi riba dalam kehidupan modern yang bentuk-bentuk ribanya sudah sangat sophisticated ini.

Melihat betapa sulitnya kita keluar dari lingkaran riba di jaman ini, maka sangat bisa jadi jaman ini adalah jaman yang sudah dikabarkan ke kita oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melalui haditsnya :
Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya” (HR Ibnu Majah, HR Sunan Abu Dawud, HR. al-Nasa’i dari Abu Hurairah).

Terlepas dari adanya kritik sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa bank dan industri keuangan syariah-pun belum sepenuhnya syar’i, maka alangkah lebih baik apabila kaum muslimin menggunakan yang sudah berusaha menuju yang syar’i ini ketimbang yang terang-terangan tidak menghiraukan fatwa riba ini.
Untuk bank konvensional yang infrastruktur teknologi dan layanannya sudah jauh lebih unggul yang dalam realitasnya sudah banyak memberi manfaat untuk kepentingan transfer dana dan sebagainya. Bisa saja bank-bank seperti ini tetap digunakan tetapi produk-produk ribawinya harus dihilangkan. Rekening koran misalnya tidak usah diberi bunga, tetapi gantinya diberikan dalam bentuk layanan yang sebaik-baiknya – karena masyarakat yang sadar keharaman bunga bank tidak membutuhkan bunga tetapi membutuhkan layanan yang baik. Produk semacam deposito misalnya, tidak perlu lagi digunakan karena kalau ada kelebihan dana – diputar di bisnis yang riil insyaAllah sudah akan lebih baik daripada sekedar ditaruh di deposito.

Untuk produk-produk asuransi, dana pensiun, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja dan sebagainya. harus ada perlindungan konsumen muslim secara maksimal, jangan sampai pemenuhan kebutuhan hajat hidup orang banyak ini dipenuhi atau dikelola secara ribawi. Bayangkan apabila ada keluarga kita jatuh sakit, tetapi kemudian dirawat oleh perusahaan dengan jaminan asuransi yang dikelola secara ribawi (berdasarkan fatwa tersebut diatas) – do’a orang sakit yang seharusnya terkabulkan menjadi tidak terkabulkan karena pengaruh riba yang bisa jadi tidak kita sadari.

Begitu pula ketika kita berangkat pensiun, sudah seharusnya pada usia ini kita  berusaha mendekat kepada Sang Maha Pencipta. Tetapi tanpa kita sadari, dana pensiun yang kita gunakan sebagai bekal sebagiannya berasal dari riba yang terbawa oleh pengelolaan dana pensiun yang juga belum menghiraukan fatwa riba tersebut diatas.


Solusi bank syariah, asuransi syariah, dana pensiun syariah dan sebagainya bisa terus disempurnakan dan diupayakan untuk menjadi solusi yang bener-bener syar’i.

Klik untuk info lengkap

No comments: