Sunday, April 20, 2014

Penyesuaian kontrol Harga dalam Fiqh Tradisional

Harga telah ditentukan dalam pasar sejak permulaan pertukaran-tidak langsung dalam era pra-Islam. Kekurangan dalam pasar kemudian disempurnakan Nabi oleh pengajaran dan partisipasi. Ahli fiqh kemudian mengembangkan hukum intervensi pasar dengan merujuk pada prinsip yang dijalankan nabi. Terdapat dua fakta yang mendasari hukum terhadap pengaturan harga. Pertama, hadis yang dilaporkan Anas berkata “seorang laki-laki datang kepada Nabi untuk menetapkan harga tapi ia menolak. Seorang lelaki lain datang dan meminta jal yang sama; nabi berkata bahwa Allah yang menaikkan dan menurunkan harga, aku tidak ingin menghadapnya dengan beban ketidakadilan” . Kedua, Imam Malik melaporkan bahwa terdapat kejadian di Muwatta dimana Khalifah Umar akan memecat seorang penjual yang menjual dengan harga rendah. Imam Shafi’i, sebaliknya berpikir bahwa Khalifah Umar telah mendatangi rumah penjual itu, dan Shafi’i  menganggap bahwa Khalifah Umar memperhatikan kesejahteran rakyat. Jadi, kamu dapat menjual pada tingkat harga berapapun.
Empat mazhab besar, yaitu Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali masing-masing mempunyai pandangan  tetapi terdapat pertentangan dalam kesimpulan mengenai kontrol harga  dalam ekonomi Islam.
Pengikut Imam Shafiid an Imam Hambali tidak menyetujui kontrol harga dengan dua alasan: kelimpahan dan kelangkaan barang bergantung pada fenomena luar biasa; dan, jika harga dihasilkan dari sebab alamiah, kemudian penetapan harga adalah tindakan yang tidak adil terhadapa penjual. Imam Shamsuddeen Ibn Qudamah al-Maqdisi (d. 682 A.H.), fiqh Hambali berpendapat bahwa kepala pemerintah tidak mempunyai hak untuk mengatur harga barang di pasar. Seperti yang dikutip dari hadis dilaporkan oleh Anas ;
Dua fakta yang didapat dari hadis. Pertama, Nabi tidak mengontol harga walaupun tekanan orang terhadap dirinya. Kedua, Nabi menyamakan kontol harga dengan tidak adil(zalim) dan kezaliman adalah terlarang (Ibn Qudamah, 1374:44).

Ia mengkritik segala bentuk kontrol harga dan menyimpulkan bahwa hal itu selalu mendorong harga naik, melemahkan impor, mendorong pelarian modal, , memicu penimbunan, dan membebankan rakyat. Kontol harga tidak hanya membatasi kebebasan perusahaan tetapi juga mempunyai dua dampak berbahaya. Pertama, kelangkaan persediaan menciptakan pemasaran hitam, dan kedua, konsumen tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Jelas bahwa pandangan Ibn Qudamah berdasarkan pada hadis yang ia kutip. Kita juga harus meneliti keadaan yang sedang terjadi pada saat itu. Jika harga telah ditetapkan di luar Madinah, dan kemudian mendorong penetapan harga pada pedagang lokal adalah tidak diragukan lagi merupakan tindakan zalim.
Bagaimana jika situasinya berbeda yaitu pedagang lokal melakukan penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga. . Imam ibnu Tarmiyah menulis:

Imam muslim melaporkan dalam Sahihnya dari Muammar bin Ambdullah bahwa Nabi berkata penimbunan adalah tindakan yang hanya dilakukan oleh Pendosa. Penimbun adalah orang yang membeli padi yang banyak dibutuhkan orang dan meletakannya jauh dari jangkauan mereka sehingga harga menjadi naik. Sehingga pemerintah mempunyai hak untuk memaksa penjual menjual padi pada harga pasar saat orang membutuhkannya (Ibn Taimiyah, 1976:14).

Ibn Tarmiyah menyimpulkan bahwa : “ketika kebutuhan dan keperluan rakyat tidak dapat dijamin dengan kontrol harga yang adil, kemudian kontrol harga berbasis keadilan dapat diterapkan-tidak lebih, tidak kurang” (Ibn Taimiyah,1976:37).
Ibn Habib menyimpulkan bahwa:


Imam harus memanggil seluruh pihak untuk negisiasi harga, seperti pedagang partai besar, pembeli, dan ahli lainnya. Opini mereka akan didengarkan dan perkiraan dibuat pada tingkat dimana mereka membeli dan menjual dalam pasar. Persetujuan yang dicapai akan menguntungkan penjual dan diterima secar sosial tanpa paksaan

No comments: