Harga telah ditentukan
dalam pasar sejak permulaan pertukaran-tidak langsung dalam era pra-Islam. Kekurangan
dalam pasar kemudian disempurnakan Nabi oleh pengajaran dan partisipasi. Ahli
fiqh kemudian mengembangkan hukum intervensi pasar dengan merujuk pada prinsip
yang dijalankan nabi. Terdapat dua fakta yang mendasari hukum terhadap
pengaturan harga. Pertama, hadis yang dilaporkan Anas berkata “seorang laki-laki
datang kepada Nabi untuk menetapkan harga tapi ia menolak. Seorang lelaki lain
datang dan meminta jal yang sama; nabi berkata bahwa Allah yang menaikkan dan
menurunkan harga, aku tidak ingin menghadapnya dengan beban ketidakadilan” . Kedua,
Imam Malik melaporkan bahwa terdapat kejadian di Muwatta dimana Khalifah Umar akan
memecat seorang penjual yang menjual dengan harga rendah. Imam Shafi’i,
sebaliknya berpikir bahwa Khalifah Umar telah mendatangi rumah penjual itu, dan
Shafi’i menganggap bahwa Khalifah Umar
memperhatikan kesejahteran rakyat. Jadi, kamu dapat menjual pada tingkat harga
berapapun.
Empat mazhab besar, yaitu
Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali masing-masing mempunyai pandangan tetapi terdapat pertentangan dalam kesimpulan
mengenai kontrol harga dalam ekonomi
Islam.
Pengikut Imam Shafiid an
Imam Hambali tidak menyetujui kontrol harga dengan dua alasan: kelimpahan dan
kelangkaan barang bergantung pada fenomena luar biasa; dan, jika harga
dihasilkan dari sebab alamiah, kemudian penetapan harga adalah tindakan yang
tidak adil terhadapa penjual. Imam Shamsuddeen Ibn Qudamah al-Maqdisi (d. 682
A.H.), fiqh Hambali berpendapat bahwa kepala pemerintah tidak mempunyai hak
untuk mengatur harga barang di pasar. Seperti yang dikutip dari hadis dilaporkan
oleh Anas ;
Dua
fakta yang didapat dari hadis. Pertama, Nabi tidak mengontol harga walaupun tekanan
orang terhadap dirinya. Kedua, Nabi menyamakan kontol harga dengan tidak
adil(zalim) dan kezaliman adalah terlarang (Ibn Qudamah, 1374:44).
Ia mengkritik segala bentuk kontrol harga dan
menyimpulkan bahwa hal itu selalu mendorong harga naik, melemahkan impor,
mendorong pelarian modal, , memicu penimbunan, dan membebankan rakyat. Kontol
harga tidak hanya membatasi kebebasan perusahaan tetapi juga mempunyai dua
dampak berbahaya. Pertama, kelangkaan persediaan menciptakan pemasaran hitam,
dan kedua, konsumen tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Jelas bahwa pandangan Ibn Qudamah berdasarkan pada
hadis yang ia kutip. Kita juga harus meneliti keadaan yang sedang terjadi pada
saat itu. Jika harga telah ditetapkan di luar Madinah, dan kemudian mendorong penetapan
harga pada pedagang lokal adalah tidak diragukan lagi merupakan tindakan zalim.
Bagaimana jika situasinya berbeda yaitu pedagang lokal
melakukan penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga. . Imam ibnu Tarmiyah
menulis:
Imam
muslim melaporkan dalam Sahihnya dari Muammar bin Ambdullah bahwa Nabi berkata
penimbunan adalah tindakan yang hanya dilakukan oleh Pendosa. Penimbun adalah
orang yang membeli padi yang banyak dibutuhkan orang dan meletakannya jauh dari
jangkauan mereka sehingga harga menjadi naik. Sehingga pemerintah mempunyai hak
untuk memaksa penjual menjual padi pada harga pasar saat orang membutuhkannya (Ibn
Taimiyah, 1976:14).
Ibn Tarmiyah menyimpulkan bahwa : “ketika kebutuhan dan
keperluan rakyat tidak dapat dijamin dengan kontrol harga yang adil, kemudian
kontrol harga berbasis keadilan dapat diterapkan-tidak lebih, tidak kurang” (Ibn
Taimiyah,1976:37).
Ibn Habib menyimpulkan bahwa:
Imam
harus memanggil seluruh pihak untuk negisiasi harga, seperti pedagang partai
besar, pembeli, dan ahli lainnya. Opini mereka akan didengarkan dan perkiraan
dibuat pada tingkat dimana mereka membeli dan menjual dalam pasar. Persetujuan
yang dicapai akan menguntungkan penjual dan diterima secar sosial tanpa paksaan
No comments:
Post a Comment