Kondisi Eonomi
global saat ini tidak memberikan tempat
untuk “keadilan”, salah satu hal yang diajarkan oleh Islam. Ketika
ekspor Negara Industri meningkat seharusnya ekspor Negara berkembang juga
seharusnya meningkat, terlebih lagi jika
net ekspor Negara berkembang lebih besar daripada Negara industry maka hal
tersebut akan berimplikasi pada peningkatan “share” dalam perdagangan dunia dan mengurangi kesenjangan antara
negara miskin dan negara kaya. Namun, kenyataanya hal tersebut sulit diwujudkan
selama halangan dalam melakukan perdagangan internasional tidak dihapuskan,
khususnya hambatan perdagangan yang dilakukan oleh negara industri kepada negara
berkembang yang akan melakukan ekspor produknya. Selain itu, negara berkembang
juga harus mempercepat pembangunan sehingga
mereka mampu bersaing dalam perdagangan internesional dengan harga yang
bersaing. Liberalisasi yang diterapkan selama ini tidak akan meningkatkan
ekspor Negara berkembang, yang terjadi malah meningkatnya impor Negara tersebut
mengimpor dari negar industri, walaupun sebenarnya mereka mampu untuk
memproduksinya.
Ada beberapa
negara maju yang menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan tariff yang
kurang menguntungkan bagi negara berkembang, contohnya ketika tariff produk
manufaktur diturunkan dari 40% menjadi
4%, sedangkan produk pertanian tarifnya tetap pada kisaran 40% sampai 50%.(The
Economist (9 June 2001) p.81) Hal tersebut mengindikasikan adanya liberalisasi
dalam perdagangan produk pertanian dalam perdagangan internasional. Negara yang
mampu meningkatkan net ekspornya, mereka melakukan hal tersebut dengan
meminimalkan impor barang-barang yang kurang esensial.
Kondisi alami
New Global Economy mengharuskan adanya integerasi ekonomi secara global untuk
menciptakan “keadilan”. Keadilan tersebut terjadi ketika setiap negara mampu bersaing
dalam perdagangan internasional, dalam hal ini ada peningkatan net ekspor. Hal
tersebut membutuhkan kondisi lingkungan internal suatu negara yang baik seperti
angkatan kerja yang sehat dan terdidik, infrastruktur fisik dan social yang baik, ketersedian sumber daya
yang dapat menunjang produksi, stabilitas ekonomi, politik, dan kepastian
hukum. Namun, tidak semua negara memiliki kondisi normative seperti itu, apalagi
negara berkembang. Oleh karena itu, negara berkembang membutuhkan bantuan dari
negara maju seperti bantuan financial, SDM yang terdididk dan terlatih, dan
transfer teknologi serta kemudahan dalam berdagang untuk dapat bersaing dalam
perdagangan global. Namun hal
tersebut tidak serta merta mendapat
sambutan dari negara-negara maju. Seharusnya dengan ketersediaan bantuan dan
liberalisasi pasar sebenarnya mampu membantu menciptakan keadilan dalam
integerasi ekonomi global. Dan dengan hal itu setiap pihak akan mendapatkan
manfaat dari integerasi tersebut.
Adanya ketidakadilan dalam paradigma new
global economy terlihat pada kekuatan negosiasi. Biasanya negara kaya,
dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu memimpin negosiasi dengan caranya sendiri. Mereka mempunyai “kekuatan”
lebih di WTO dan IMF . Hal tersebut mengakibatkan kesulitan bagi Negara
berkembang untuk “berkembang”, mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali
melewatinya walaupun terkesan sulit dan tidak mungkin dilakukan dengan posisi
tawar yang lemah. Hal tersebut jauh dari keadilan dalam integerasi ekonomi global.
Ketidakadilan juga terlihat dari kenyataan negara-negara industri yang besar
menekan negara berkembang dalam produksi minyak untuk meningkatkan produksinya
supaya harga jual minyak dunia menjadi murah. Hal tersebut mengakibatkan
penurunan pendapatan bagi negara berkembang dari produksi minyak. Selain itu, negara
maju yang menginvestasikan dananya dalam perminyakan juga menekan penurunan
pajak. Selain itu banyak negara berkembang yang sangat mengandalkan nilai
ekspor yang besar dari ekspor minyak, padahal banyak potensi lain yang
sebenarnya dimiliki negara berkembang yang “terlupakan” seperti industry
agrikultur dan tekstil.
Ketika negara kaya menerapkan proteksi yang berlebihan terhadap
produk-produk negara berkembang seperti agrikultur, tekstil, dan petrokimia
konsekuensinya kesenjangan pendapatan anatara negara kaya dan miskin semakin
besar. Kesenjangan tersebut menimbulkan risiko yang besar bagi ekonomi dunia
dikemudian hari, hal tersebut mengakibatkan integerasi ekonomi sebagai dampak
dari globalisasi akan gagal. Oleh karena itu kemudahan akses bagi negara
berkembang dalam mengembangkan perdagangannya di perdagangan internasional
menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menerapkan keadialan dalam
integrasi ekonomi.
Keadilan akan tercapai hanya dengan usaha yang keras dari negara-negara
muslim khususnya untuk bersatu menghadapi integerasi ekonomi akibat globalisasi. Organization
of the Islamic Conference (OIC) and Islamic development Bank (IDB) mempunyai peran penting dalam
mengejawantahkan hal tersebut. Negara-negara islam seharusnya menyadari bahwa
pembatasan perdagangan negara-negara maju bukan menjadi halangan utama dalam
perdagangan internasional, melainkan juga
negara-negara islam harus bersatu dalam mengahadapi tantangan
globalisasi. Tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan kemampuan
sumberdaya ekonomi dan teknologi yang dapat menunjang peningkatan kompetensi
dalam bersaing di perdagangan internasional, dan pembenahan faktor-faktor
internal di dalam Negara tersebut seperti stabilisasi politik, ekonomi, dan
kepastian hukum serta pembenahan moral masyarakat.
No comments:
Post a Comment