Sunday, April 20, 2014

Keadilan dan New Global Economy dalam Islam

Kondisi Eonomi global saat ini tidak memberikan tempat  untuk “keadilan”, salah satu hal yang diajarkan oleh Islam. Ketika ekspor Negara Industri meningkat seharusnya ekspor Negara berkembang juga seharusnya  meningkat, terlebih lagi jika net ekspor Negara berkembang lebih besar daripada Negara industry maka hal tersebut akan berimplikasi pada peningkatan “share” dalam perdagangan dunia dan mengurangi kesenjangan antara negara miskin dan negara kaya. Namun, kenyataanya hal tersebut sulit diwujudkan selama halangan dalam melakukan perdagangan internasional tidak dihapuskan, khususnya hambatan perdagangan yang dilakukan oleh negara industri kepada negara berkembang yang akan melakukan ekspor produknya. Selain itu, negara berkembang juga harus mempercepat pembangunan sehingga mereka mampu bersaing dalam perdagangan internesional dengan harga yang bersaing. Liberalisasi yang diterapkan selama ini tidak akan meningkatkan ekspor Negara berkembang, yang terjadi malah meningkatnya impor Negara tersebut mengimpor dari negar industri, walaupun sebenarnya mereka mampu untuk memproduksinya.

Ada beberapa negara maju yang menerapkan kebijakan proteksi dengan menerapkan tariff yang kurang menguntungkan bagi negara berkembang, contohnya ketika tariff produk manufaktur  diturunkan dari 40% menjadi 4%, sedangkan produk pertanian tarifnya tetap pada kisaran 40% sampai 50%.(The Economist (9 June 2001) p.81) Hal tersebut mengindikasikan adanya liberalisasi dalam perdagangan produk pertanian dalam perdagangan internasional. Negara yang mampu meningkatkan net ekspornya, mereka melakukan hal tersebut dengan meminimalkan impor barang-barang yang kurang esensial.

Kondisi alami New Global Economy mengharuskan adanya integerasi ekonomi secara global untuk menciptakan “keadilan”. Keadilan tersebut terjadi ketika setiap negara mampu bersaing dalam perdagangan internasional, dalam hal ini ada peningkatan net ekspor. Hal tersebut membutuhkan kondisi lingkungan internal suatu negara yang baik seperti angkatan kerja yang sehat dan terdidik, infrastruktur fisik  dan social yang baik, ketersedian sumber daya yang dapat menunjang produksi, stabilitas ekonomi, politik, dan kepastian hukum. Namun, tidak semua negara memiliki kondisi normative seperti itu, apalagi negara berkembang. Oleh karena itu, negara berkembang membutuhkan bantuan dari negara maju seperti bantuan financial, SDM yang terdididk dan terlatih, dan transfer teknologi serta kemudahan dalam berdagang untuk dapat bersaing dalam perdagangan global. Namun hal tersebut tidak serta merta  mendapat sambutan dari negara-negara maju. Seharusnya dengan ketersediaan bantuan dan liberalisasi pasar sebenarnya mampu membantu menciptakan keadilan dalam integerasi ekonomi global. Dan dengan hal itu setiap pihak akan mendapatkan manfaat dari integerasi tersebut.

Adanya ketidakadilan dalam paradigma new global economy terlihat pada kekuatan negosiasi. Biasanya negara kaya, dengan kekuatan yang dimilikinya, mampu memimpin negosiasi dengan caranya sendiri. Mereka mempunyai “kekuatan” lebih di WTO dan IMF . Hal tersebut mengakibatkan kesulitan bagi Negara berkembang untuk “berkembang”, mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali melewatinya walaupun terkesan sulit dan tidak mungkin dilakukan dengan posisi tawar yang lemah. Hal tersebut jauh dari keadilan  dalam integerasi ekonomi global. Ketidakadilan juga terlihat dari kenyataan negara-negara industri yang besar menekan negara berkembang dalam produksi minyak untuk meningkatkan produksinya supaya harga jual minyak dunia menjadi murah. Hal tersebut mengakibatkan penurunan pendapatan bagi negara berkembang dari produksi minyak. Selain itu, negara maju yang menginvestasikan dananya dalam perminyakan juga menekan penurunan pajak. Selain itu banyak negara berkembang yang sangat mengandalkan nilai ekspor yang besar dari ekspor minyak, padahal banyak potensi lain yang sebenarnya dimiliki negara berkembang yang “terlupakan” seperti industry agrikultur dan tekstil.

Ketika negara kaya menerapkan proteksi yang berlebihan terhadap produk-produk negara berkembang seperti agrikultur, tekstil, dan petrokimia konsekuensinya kesenjangan pendapatan anatara negara kaya dan miskin semakin besar. Kesenjangan tersebut menimbulkan risiko yang besar bagi ekonomi dunia dikemudian hari, hal tersebut mengakibatkan integerasi ekonomi sebagai dampak dari globalisasi akan gagal. Oleh karena itu kemudahan akses bagi negara berkembang dalam mengembangkan perdagangannya di perdagangan internasional menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam menerapkan keadialan dalam integrasi ekonomi.


Keadilan akan tercapai hanya dengan usaha yang keras dari negara-negara muslim khususnya untuk bersatu menghadapi integerasi ekonomi akibat  globalisasi. Organization of the Islamic Conference (OIC) and Islamic development Bank (IDB)  mempunyai peran penting dalam mengejawantahkan hal tersebut. Negara-negara islam seharusnya menyadari bahwa pembatasan perdagangan negara-negara maju bukan menjadi halangan utama dalam perdagangan internasional, melainkan juga  negara-negara islam harus bersatu dalam mengahadapi tantangan globalisasi. Tantangan terbesar adalah bagaimana meningkatkan kemampuan sumberdaya ekonomi dan teknologi yang dapat menunjang peningkatan kompetensi dalam bersaing di perdagangan internasional, dan pembenahan faktor-faktor internal di dalam Negara tersebut seperti stabilisasi politik, ekonomi, dan kepastian hukum serta pembenahan moral masyarakat. 

No comments: