Dalam
beberapa dekade terakhir, ketika kita membicarakan masalah finansial dalam
Islam, isu yang mendasar adalah tentang upaya penghapusan riba atau bunga.
Seperti yang telah kita ketahui, riba dalam Islam hukumnya adalah haram. Riba
adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau
pengganti yang dibenarkan dalam syariah.
2.1 Kontribusi
Bank Islam Terdahulu
2.1.1 Perbedaan antara
penjualan dan bunga
Untuk
memahami prinsip finansial dalam Islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan
antara penjualan dan bunga. Kedua konteks ini berhubungan dengan pemerataan
distribusi dan manajemen risiko yang efisien. Dalam transaksi berbasis bunga,
risiko ditransfer kepada peminjam sehingga semua interest-bearing assets menjadi bebas risiko. Hal ini tidak adil
secara sosial dan tidak efisien secara ekonomi.
2.1.2 Tujuan
untuk pengembalian tetap dalam pembiayaan modal
Riba pada
umumnya muncul akibat adanya peminjaman uang dari satu pihak ke pihak lainnya.
Pihak yang meminjamkan uang seringkali menetapkan garansi pengembalian atas
pembiayaan yang telah ia berikan kepada pihak lainnya. Dalam Islam, perlakuan
seperti ini dikatakan tidak masuk akal dan irasional, sehingga tidak boleh
dilakukan.
2.1.3 Evolusi pada prinsip
finansial dari masa ke masa
Berdasarkan
pembahasan di atas, banyak pemikir Muslim yang berpendapat bahwa pendekatan
pembiayaan Islami harus berdasarkan modal pokok yang diinvestasikan di mana rate of return dari pembiayaan modal
bisa berbeda-beda sesuai dengan rate of
return yang diperoleh perusahaan. Aplikasi dari rate of return yang berbeda-beda dapat dilihat dalam dua bentuk,
yaitu:
a. Profit Sharing Principle (PSP)
Prinsip ini
didasari atas prinsip mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik dan dan
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, di mana laba dibagi atas dasar
nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak dan kerugian akan
ditanggung oleh pemilik dana kecuali kerugian yang disebabkan oleh misconduct
dari pengelola dana.
b.
Profit and Loss Sharing
Principle (PLSP)
Prinsip ini didasari atas prinsip
musyarakah, yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha
tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan
ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan
kerugian akan dibagi berdasarkan porsi kontribusi dana.
c.
Prinsip Lainnya
Pelayanan bank dapat dibuat berdasarkan
prinsip ju’alah, yaitu kontrak antara klien dan bank dengan fees yang spesifik
untuk pelayanan yang spesifik pula.
2.2 Prinsip Keuangan dalam
Perspektif dari Bank Syariah
2.2.1 Kritik Atas Prinsip Bagi Hasil
Pertama, karakter yang dimiliki oleh prinsip mudarabah klasik adalah
harus adanya hubungan bilateral. Bank berurusan dengan banyak dana depositor dan
hal ini memtahkan pinsip bilateral. Itulah mengapa dibutuhkan mudarabah
kolektif. Batasan kedua adalah profit didistribusikan dan setelah semua tahapan
transaksi selesai. Batasan ketiga adalah mudarabah tidak bisa menyediakan
layanan pembiayaan.
2.2.2 Pendanaan Berbasis Penjualan
Lima bentuk penundaan penjualan yang menimbulkan penundaan hutang:
1.
Salam sale (harga dibayarkan
saat perjanjian dibuat tapi barang yang dijual menjadi debt in kind)
2.
Mua jjal sale (barang yang dijual
dikirimkan saat perjanjian tapi pembayarannya menjadi utang)
3.
Istisna'
sale (harga dibayarkan
pada saat kontrak dibuat dan barang yang dijual dibuat dan dikirimkan kemudian)
4.
ljarah
(penjualan atas hak dari
aset dimana aset tesebut dikirimkan kepada pengguna, yaitu orang yang membayar
sewa secara periodik)
5.
Murabahah
li al 'amer bi al shira' (penjualan dengan jumlah keuntungan yang telah diketahui yang mungkin akan
menciptakan utang)
2.3 Konsep Kepemilikan dalam Islam
Kahf (1991) mencoba menjelaskan
tentang konsep pendanaan dan
keuangan dalam Islam. Mempelajari
prinsip keuangan Islam, tidak akan terlepas dari konsep pembagian kepemilikan
dalam menjalankan prinsip tersebut. Kepemilikan ini dijelaskan menurut
karakteristik Islam yakni 1) kepemilikan memberikan pada pemilik untuk
mendapatkan pendapatan, timbal balik serta nilai tambah yang dihasilkan. 2)
pemilik terkait dengan penanggungan atas segala resiko diatasnya. Kedua
karakter ini menjadi dasar pengklasifikasian kepemilikan dalam Islam.
Selanjutnya dalam menjelaskan konsep kepemilikan dalam Islam, Rasulullah SAW
menggunakan kata “Al Kharaj bi Al daman”, yang berarti kita berhak mendapat
keuntungan selama berani menanggung kerugian.
Dalam konteks ini terdapat pendikotomian,
antara konsep kepemilikan dengan pengelolaan dalam Islam. Kombinasi diantara
keduanya, menciptakan tiga bentuk yaitu i) Pemilik dapat mengelola sendiri
harta yang mereka memiliki, ii) pemilik dapat menyewa atau mengadakan kontrak
tertentu dalam pengelolaan assetnya (mudharabah),
iii) pemilik dapat menyerahkan pengelolaan assetnya dan bisa diambil
keuntungannya kepada orang lain. Selanjutnya, Kahf (1991) menjelaskan mengenai teknik commercial financing dimana para pemilik
dapat menentukan sendiri bagaimana keputusan manajerial dari asset ataupun
transaksi yang mereka miliki, apakah menjalankan sendiri ataupun dikelola oleh
orang lain.
Oleh karena itu, pendanaan berbasis
penjualan (sales-based financing) termasuk bentuk commercial financing karena merepresentasikan sang pemilik
mengelola sendiri. Sharikah, Murabahah, Salam dan Mua’jjal adalah bentuk
variasi dari commercial financing. Dalam
commercial financing, hak untuk
mendapat keuntungan berdasarkan dari kepemilikannya, selama kepemilikan atas
harta tersebut memberikan manfaat. Kategori selanjutnya menurut Kahf adalah
dipengaruhi oleh pemisahan antara kepemilikan dengan pengelolaan dalam term
pembiayaan murni (“pure financing”). Contohnya adalah Mudharabah dimana kepemilikan dana ditanggung seluruhnya oleh
pemilik, sedangkan pengelolaannya dipercayakan kepada orang ataupun pihak lain.
Muzara’ah dan Musaqah hampir sama dengan Mudharabah
kecuali satu hal yaitu : kepemilikan tanah dan pepohonan dalam keputusan
pengembangan investasinya harus diambil oleh sang pemilik. Selama pengurusan
tanah pertanian (sharecropper) dalam muzara’ah dan musaqah, mengambil sendiri
keputusannya sama seperti sistem partner kerja dalam mudharabah.
Kategori ketiga pada penyewaan terdapat dua tipe
pengambilan keputusan yang terpisah satu sama lain. Pertama, keterlibatan
pengambilan keputusan terkait dengan aset itu sendiri (contohnya maintenance ataupun pemindahan hak
pengelolaan asset itu sendiri). Poin kedua terkait dengan keputusan yang
terkait dengan manajemen dan hak pengelolaan, keputusan ini biasanya diambil lessee.
No comments:
Post a Comment