Alloh SWT memerintahkan manusia untuk selalu berusaha mendapatkan
keberuntungan dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat
menimbulkan kerugian, seperti dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
“Demi masa, sesungguhnya manusia
itu benar-benar dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan
amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menasehati
supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr 1-3).
Ayat di atas
merupakan sebagian dari firman Alloh SWT yang bertujuan untuk memotivasi
manusia agar selalu berupaya menghindari kerugian dan mendapatkan
keberuntungan. Petunjuk tersebut di atas tidak hanya berlaku untuk kerugian
atau keberuntungan di akhirat saja, melainkan juga di dunia. Salah satu bentuk
upaya manusia untuk mengurangi kerugian di dalam bermuamalah adalah dengan
mengurangi berbagai risiko yang bisa terjadi. Risiko yang sering dialami dalam
bermuamalah atau dalam berinvestasi adalah risiko perubahan nilai tukar mata
uang.
Upaya manusia untuk
mengurangi risiko kerugian yang ditimbulkan dari pergerakan nilai tukar yang
tidak diharapkan ini dilakukan dengan menciptakan berbagai instrument lindung
nilai (hedging). Instrumen lindung
nilai yang sering digunakan untuk mengantisipasi kerugian akibat volatilitas
nilai tukar dalam perdagangan adalah forward,
swap, option, yang disebut dengan instrument derivatif. Produk instrument derivatif ini merupakan
turunan dari pembelian dan dsepenjualan komoditas ekspor secara spot. Transaksi tersebut dilakukan
dengan cara memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk jangka waktu tertentu di
masa depan dengan fan melakukan transaksi jual beli mata uang yang dibutuhkan
tersebut secara kontrak pada saat ini.
Akan tetapi,
penggunaan instrument derivatif forward,
swap, dan option ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan pakar
ekonomi Islam. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi harus terbebas dari
unsur maisir, gharar, dan riba. Dalam prakteknya tidak semua instrumen
derivatif sesuai dengan syariah Islam.
Dengan
dikeluarkannya fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang
asing (as-sharf), difatwakan bahwa
transaksi valuta asing yang dibolehkan (tidak bertentangan dengan syariah)
hanya transaksi spot dan forward agreement untuk kebutuhan yang
tidak dapat dihindari (lil hajah). Dengan
sedikitnya instrument hedging yang
tersedia, sementara peluang perdagangan internasional yang semakin berkembang
seiring dengan perkembangan globalisasi maka perlu dicari alternatif alat
lindung nilai lain yang sesuai dengan prinsip syariah. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan
selama ini, terdapat beberapa alternatif hedging yang bebas dari unsur maisir, gharar, dan riba. Alternatif instrument hedging
tersebut adalah :
1.
Dinar emas. Berdasarkan press released dari World Gold Council pada tanggal 22 September 2004 mengumumkan bahwa
dari tiga penelitian yang dilakukan terhadap kemungkinan emas dijadikan sebagai
hedge instrument menunjukkan bahwa
emas dalam jangka panjang memberikan proteksi yang konsisten dalam menghadapi
fluktuasi dollar AS dan mata uang dunia kuat lainnya.
2.
Forward Exchange Contract (FEC). Penggunaan forward exchange contract (FEC) sebagai
instrument lindung nilai, merupakan pengembangan dari forward agreement yang dibolehkan berdasarkan fatwa DSN-MUI tentang
jual beli valuta asing (as-sharf).
Unsur bunga dalam perhitungan delivery
rate instrumen lindung nilai FEC yang ada selama ini diganti dengan nilai
risiko kurs valuta asing (VaR GPD). Penggunaan VaR GPD ini dikarenakan nilai
risiko kurs bagi debitur adalah estimasi kenaikan kurs tertinggi dalam suatu
jangka waktu tertentu (lihat Putranto, 2007).
3.
Futures contract dengan akad salam. Futures contract konvensional merupakan transaksi jual beli valas
yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang (deal date) dan realisasi dari transaksi/penyerahan dana (value date) di waktu yang akan datang (future) dan lebih dari dua hari kerja. Transaksi
ini diharamkan karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan pembayarannya di waktu
yang akan datang dimana harganya belum tentu sama dengan nilai yang disepakati.
Oleh karena itu, digunakan akad salam. Menurut
Antonio (2001, hal 108) ba’i as-salam, pembelian
barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di
muka. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullaah SAW berikut:
“Barang siapa yang melakukan
salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui. “ (Hadits
riwayat Ibnu Abbas).
Dari hadits di atas jelaslah bahwa Rasulullaah membolehkan transaksi
salam dengan ketentuan takaran atau timbangan yang jelas untuk jangka waktu
yang telah disepakati dan masing-masing pihak tidak ada yang melanggar
kesepakatan. Mekanisme penggunaan akad salam dengan menetapkan harga jual yang lebih
rendah dari harga spot dan pembayaran
dilakukan tunai pada saat transaksi, misal 2 bulan kemudian. Contohnya A, orang
Indonesia mengekspor kelapa sawit ke B, orang Amerika dengan nilai transaksi
pada tanggal 13 Februari 2008 USD 1.000 dengan kurs 1 USD = Rp10.000,00.
Kontrak saat transaksi kurs menjadi USD 1 = Rp 9.900,00 untuk delivery 2 bulan. Pembayaran diterima A
tunai pada tanggal 13 Februari 2008 adalah sebesar Rp99.000.000,00 (penempatan
pada a/c Murabahah) dengan ketentuan pada tanggal 13 April 2008 A mengirim
barang ke B sesuai dengan kesepakatan pada saat transaksi.Jika pada tanggal 13
April 2008 kurs USD 1 = Rp9.500,00 maka A mendapatkan untung Rp400,00. Harga
yang rendah merupakan kompensasi yang diberikan penjual kepada pembeli atas
pembayaran penuh. Jual beli seperti ini dapat dibenarkan oleh syariah jika
wujud barang (komoditas) yang diperjualbelikan pasti ada menurut adat kebiasaan
(‘urf) yang berlaku.Dengan kata lain
jual beli yang barangnya tidak ada saat berlangsungnya akad tapi diyakini akan
ada di masa yang akan datang sesuai kebiasaannya, boleh dilakukan dan tetap
sah, yang dilarang adalah bila dalam jual beli tersebut mengandung unsur
tipuan.
4.
Transaksi swap dengan akad qardh.
Transaksi swap konvensional dilarang diantaranya karena terdapat unsur
spekulasi dan keharusan pembayaran premi swap
dalam bentuk bunga. Motif swap untuk
spekulasi (speculativ motive)
diharamkan, dimana rupiah ditukar dengan dollar AS untuk mendapatkan rupiah
yang lebih banyak di akhir periode transaksi swap yaitu ketika rupiah diyakini akan semakin melemah terhadap
dollar di masa akan datang. Ini contoh dari transaksi swap yang bukan berorientasi pada sektor riil (bisnis/usaha) dan
memberikan dampak buruk pada perekonomian. Sementara, premi swap mempresentasikan selisih tingkat
bunga investasi antara kedua mata uang yang harus dibayarkan (Agustianto,
2008). Oleh karena itu, untuk
menghilangkan unsur riba pada transaksi swap
konvensional selama ini,digunakan akaq qardh.
Menurut Antonio (2001, hal 131) al-qardh
adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta
kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Eksportir (A) yang berkedudukan di Indonesia pada tanggal 1 Juli 2008
mengekspor kerajinan tangan ke Amerika senilai USD 1000 atau dengan kurs USD 1
= Rp 10.000,00 setara dengan Rp10.000.000,00. Sementara itu, eksportir B yang
berkedudukan di Amerika juga mengekspor elektronik ke Indonesia pada hari yang
sama senilai USD 2000 setara Rp20.000.000,00. A yang mendapatkan hasil ekspor
USD 1000 khawatir akan fluktuasi (perubahan) nilai tukar dollar terhadap rupiah
6 bulan ke depan (khawatir rupiah menguat). Demikian pula si B mendapatkan
hasil ekspor senilai Rp20.000.000,00 (khawatir dollar menguat). Oleh karena
itu, pada tanggal 1 Juli 2008 mereka
sepakat melakukan Islamic currency swap agar
nilai mata uang yang mereka pegang saat ini tetap berada pada kurs USD 1 =
Rp10.000,00 pada tanggal 1 Desember 2008 nanti dan terhindar dari risiko
perubahan kurs rupiah terhadap dollar. Caranya yaitu A memberikan USD 1000
kepada B dan B memberikan Rp10.000.000,00 kepada A saat ini (1 Juli 2008). Pada
1 Desember 2008 nanti A berjanji akan memberikan kembali Rp10.000.000,00 kepada
B demikian pula B akan memberikan USD 1000 milik A tanpa adanya kewajiban
membayar premi berupa selisih suku bunga simpanan IDR dan USD kepada kedua
belah pihak.
Dengan adanya intrumen
lindung nilai syariah ini, diharapkan para pedagang musli semakin banyak
melakukan perdagangan internasional tanpa takut akan risiko nilai tukar akibat
fluktuasi mata uang yang digunakan.
No comments:
Post a Comment