Sunday, April 20, 2014

Lindung Nilai (Hedging) dalam Islam

Alloh SWT memerintahkan manusia untuk selalu berusaha mendapatkan keberuntungan dan menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kerugian, seperti dijelaskan dalam ayat Al-Qur’an berikut:
Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS. Al-Ashr 1-3).
              Ayat di atas merupakan sebagian dari firman Alloh SWT yang bertujuan untuk memotivasi manusia agar selalu berupaya menghindari kerugian dan mendapatkan keberuntungan. Petunjuk tersebut di atas tidak hanya berlaku untuk kerugian atau keberuntungan di akhirat saja, melainkan juga di dunia. Salah satu bentuk upaya manusia untuk mengurangi kerugian di dalam bermuamalah adalah dengan mengurangi berbagai risiko yang bisa terjadi. Risiko yang sering dialami dalam bermuamalah atau dalam berinvestasi adalah risiko perubahan nilai tukar mata uang.
              Upaya manusia untuk mengurangi risiko kerugian yang ditimbulkan dari pergerakan nilai tukar yang tidak diharapkan ini dilakukan dengan menciptakan berbagai instrument lindung nilai (hedging). Instrumen lindung nilai yang sering digunakan untuk mengantisipasi kerugian akibat volatilitas nilai tukar dalam perdagangan adalah forward, swap, option, yang disebut dengan instrument derivatif.  Produk instrument derivatif ini merupakan turunan dari pembelian dan dsepenjualan komoditas ekspor secara spot. Transaksi tersebut dilakukan dengan cara memenuhi kebutuhan mata uang asing untuk jangka waktu tertentu di masa depan dengan fan melakukan transaksi jual beli mata uang yang dibutuhkan tersebut secara kontrak pada saat ini.
              Akan tetapi, penggunaan instrument derivatif forward, swap, dan option ini masih menjadi perdebatan di kalangan ulama dan pakar ekonomi Islam. Hal ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi harus terbebas dari unsur maisir, gharar, dan riba.  Dalam prakteknya tidak semua instrumen derivatif sesuai dengan syariah Islam.
              Dengan dikeluarkannya fatwa nomor 28/DSN-MUI/III/2002 tentang jual beli mata uang asing (as-sharf), difatwakan bahwa transaksi valuta asing yang dibolehkan (tidak bertentangan dengan syariah) hanya transaksi spot dan forward agreement untuk kebutuhan yang tidak dapat dihindari (lil hajah). Dengan sedikitnya instrument hedging yang tersedia, sementara peluang perdagangan internasional yang semakin berkembang seiring dengan perkembangan globalisasi maka perlu dicari alternatif alat lindung nilai lain yang sesuai dengan prinsip syariah.   Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan selama ini, terdapat beberapa alternatif hedging yang bebas dari unsur maisir, gharar, dan riba. Alternatif instrument hedging tersebut adalah :
1.        Dinar emas. Berdasarkan press released dari World Gold Council pada tanggal 22 September 2004 mengumumkan bahwa dari tiga penelitian yang dilakukan terhadap kemungkinan emas dijadikan sebagai hedge instrument menunjukkan bahwa emas dalam jangka panjang memberikan proteksi yang konsisten dalam menghadapi fluktuasi dollar AS dan mata uang dunia kuat lainnya.
2.        Forward Exchange Contract (FEC). Penggunaan forward exchange contract (FEC) sebagai instrument lindung nilai, merupakan pengembangan dari forward agreement yang dibolehkan berdasarkan fatwa DSN-MUI tentang jual beli valuta asing (as-sharf). Unsur bunga dalam perhitungan delivery rate instrumen lindung nilai FEC yang ada selama ini diganti dengan nilai risiko kurs valuta asing (VaR GPD). Penggunaan VaR GPD ini dikarenakan nilai risiko kurs bagi debitur adalah estimasi kenaikan kurs tertinggi dalam suatu jangka waktu tertentu (lihat Putranto, 2007).
3.        Futures contract dengan akad salam. Futures contract konvensional merupakan transaksi jual beli valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang (deal date) dan realisasi dari transaksi/penyerahan dana (value date) di waktu yang akan datang (future) dan lebih dari dua hari kerja. Transaksi ini diharamkan karena harga yang digunakan adalah harga yang diperjanjikan (muwa’adah) dan pembayarannya di waktu yang akan datang dimana harganya belum tentu sama dengan nilai yang disepakati. Oleh karena itu, digunakan akad salam. Menurut Antonio (2001, hal 108) ba’i as-salam, pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayarannya dilakukan di muka. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullaah SAW berikut:
“Barang siapa yang melakukan salaf (salam), hendaknya ia melakukan dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, untuk jangka waktu yang diketahui. “ (Hadits riwayat Ibnu Abbas).
Dari hadits di atas jelaslah bahwa Rasulullaah membolehkan transaksi salam dengan ketentuan takaran atau timbangan yang jelas untuk jangka waktu yang telah disepakati dan masing-masing pihak tidak ada yang melanggar kesepakatan. Mekanisme penggunaan akad salam dengan menetapkan harga jual yang lebih rendah dari harga spot dan pembayaran dilakukan tunai pada saat transaksi, misal 2 bulan kemudian. Contohnya A, orang Indonesia mengekspor kelapa sawit ke B, orang Amerika dengan nilai transaksi pada tanggal 13 Februari 2008 USD 1.000 dengan kurs 1 USD = Rp10.000,00. Kontrak saat transaksi kurs menjadi USD 1 = Rp 9.900,00 untuk delivery 2 bulan. Pembayaran diterima A tunai pada tanggal 13 Februari 2008 adalah sebesar Rp99.000.000,00 (penempatan pada a/c Murabahah) dengan ketentuan pada tanggal 13 April 2008 A mengirim barang ke B sesuai dengan kesepakatan pada saat transaksi.Jika pada tanggal 13 April 2008 kurs USD 1 = Rp9.500,00 maka A mendapatkan untung Rp400,00. Harga yang rendah merupakan kompensasi yang diberikan penjual kepada pembeli atas pembayaran penuh. Jual beli seperti ini dapat dibenarkan oleh syariah jika wujud barang (komoditas) yang diperjualbelikan pasti ada menurut adat kebiasaan (‘urf) yang berlaku.Dengan kata lain jual beli yang barangnya tidak ada saat berlangsungnya akad tapi diyakini akan ada di masa yang akan datang sesuai kebiasaannya, boleh dilakukan dan tetap sah, yang dilarang adalah bila dalam jual beli tersebut mengandung unsur tipuan.
4.        Transaksi swap dengan akad qardh. Transaksi swap konvensional dilarang diantaranya karena terdapat unsur spekulasi dan keharusan pembayaran premi swap dalam bentuk bunga. Motif swap untuk spekulasi (speculativ motive) diharamkan, dimana rupiah ditukar dengan dollar AS untuk mendapatkan rupiah yang lebih banyak di akhir periode transaksi swap yaitu ketika rupiah diyakini akan semakin melemah terhadap dollar di masa akan datang. Ini contoh dari transaksi swap yang bukan berorientasi pada sektor riil (bisnis/usaha) dan memberikan dampak buruk pada perekonomian. Sementara, premi swap mempresentasikan selisih tingkat bunga investasi antara kedua mata uang yang harus dibayarkan (Agustianto, 2008).  Oleh karena itu, untuk menghilangkan unsur riba pada transaksi swap konvensional selama ini,digunakan akaq qardh. Menurut Antonio (2001, hal 131) al-qardh adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan.
Eksportir (A) yang berkedudukan di Indonesia pada tanggal 1 Juli 2008 mengekspor kerajinan tangan ke Amerika senilai USD 1000 atau dengan kurs USD 1 = Rp 10.000,00 setara dengan Rp10.000.000,00. Sementara itu, eksportir B yang berkedudukan di Amerika juga mengekspor elektronik ke Indonesia pada hari yang sama senilai USD 2000 setara Rp20.000.000,00. A yang mendapatkan hasil ekspor USD 1000 khawatir akan fluktuasi (perubahan) nilai tukar dollar terhadap rupiah 6 bulan ke depan (khawatir rupiah menguat). Demikian pula si B mendapatkan hasil ekspor senilai Rp20.000.000,00 (khawatir dollar menguat). Oleh karena itu, pada tanggal 1 Juli 2008  mereka sepakat melakukan Islamic currency swap agar nilai mata uang yang mereka pegang saat ini tetap berada pada kurs USD 1 = Rp10.000,00 pada tanggal 1 Desember 2008 nanti dan terhindar dari risiko perubahan kurs rupiah terhadap dollar. Caranya yaitu A memberikan USD 1000 kepada B dan B memberikan Rp10.000.000,00 kepada A saat ini (1 Juli 2008). Pada 1 Desember 2008 nanti A berjanji akan memberikan kembali Rp10.000.000,00 kepada B demikian pula B akan memberikan USD 1000 milik A tanpa adanya kewajiban membayar premi berupa selisih suku bunga simpanan IDR dan USD kepada kedua belah pihak.       

            Dengan adanya intrumen lindung nilai syariah ini, diharapkan para pedagang musli semakin banyak melakukan perdagangan internasional tanpa takut akan risiko nilai tukar akibat fluktuasi mata uang yang digunakan. 

No comments: