Monday, April 21, 2014

Pengelompokkan Pengembalian Dalam Pendanaan

3.1 Perbedaan Profit, Sewa, Upah dan Bunga
Dalam ekonomi konvensional, keempat komponen di atas termasuk ke dalam faktor produksi. Di dalam Al Qur’an dijelaskan bahwa profit merupakan hal yang tidak pasti dimana sewa, upah dan bunga bersifat tetap dan pasti. Sewa dan upah diperlakukan sama dalam term ujrah (wage) sebagai harga yang dibayarkan atas faktor produksi yang didapatkan. Profit yang dihasilkan dari proses normal dari penambahan tanpa usaha ataupun biaya yang dikeluarkan. Profit juga bisa dihasilkan dari kenaikan nilai tukar dari suatu aset.
Modal (Capital),  baik dalam ekonomi syariah maupun konvensional terdiri dari modal fisik dan SDM. Di lain pihak fitrah dari modal yang sifatnya keuangan hanya bisa bertumbuh seiring adanya perdagangan serta selisih ataupun kenaikan dan penurunan dari nilainya. Oleh karena itu Islam mengharamkan adanya bunga karena bersifat fiktif dan tidak adil. Ketika Fiqih (Hukum Islam) mengatur bahwa uang (yang kita gunakan  sekarang ini) hanya berpotensi bertumbuh melalui mekanisme perdagangan, yang harus melalui proses produksi yang melibatkan faktor-faktor produksi yakni profit, sewa, upah dan bunga. Namun pada dasarnya uang itu sendiri hanya menjadi perantara  dan tidak secara langsung terlibat dalam proses produksi sehingga memiliki ketidakpastian serta risiko yang melekat dalam pasar perekonomian.

    3.2 Dasar Pengakuan Pengembalian
Dari penjabaran di atas, telah dijelaskan tentang bagaimana pengertian dasar  pengakuan hasil pengembalian (return),dan dirangkumkan menjadi :
a.       Kepemilikan aset, aset yang belum habis masa pakainya dan bisa dimanfaatkan, hasil manfaat dari asset tersebut dapat diakui sebagai hasil pengembalian
b.      Sumber  daya manusia juga dapat diakui sebagai aset dan balas jasa berupa ujrah dapat diakui sebagai pengembalian.
c.       Mengakui ujrah berdasarkan penjualan dari manfaat  bersumber dari asset yang dimiliki.



“…, sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS Al-Baqarah : 175)

Dari artikel ini dapat disimpulkan bahwa karakteristik keuangan dalam Islam sangatlah unik. Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin pada dasarnya tidak ingin mempersulit umat dalam segala urusannya dari mulai hal yang kecil hingga yang besar, termasuk untuk urusan keuangan. Sebagai penghubung, prinsip-prinsip keuangan dalam Islam akan menjadi dasar dari penghitungan pengembalian. Misalnya prinsip mudhrabah, dimana dalam konsep tersebut terdapat pemisahan antara pemilik dan pengelola, yang selanjutnya terdapat pengembangan dari konsep tersebut.

Berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam keuangan Islam, terlihat bahwa sektor keuangan Islam memiliki potensi yang sangat besar serta dapat berkembang dengan pesat seiring berkembangnya ilmu dalam pengimplementasiannya. Pengaturan sesuai prinsip tersebut dibuat semata-mata untuk mempermudah umat Islam, serta melindungi kita dari kedzaliman riba itu sendiri,. Dalam mengimplementasikannya, dibutuhkan peran dari banyak pihak, mulai dari tiap individu umatnya hingga pemerintah dan dewan pengawasan syariah yang ada di Negara yang ada. Kita sebagai umat Islam diperintahkan untuk menerapkan prinsip yang ada tersebut dalam kehidupan kita sehari-hari,agar benar-benar tercapai konsep Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin.  

Perkembangan pada Prinsip Finansial dalam Islam saat ini

Dalam beberapa dekade terakhir, ketika kita membicarakan masalah finansial dalam Islam, isu yang mendasar adalah tentang upaya penghapusan riba atau bunga. Seperti yang telah kita ketahui, riba dalam Islam hukumnya adalah haram. Riba adalah setiap penambahan yang diambil tanpa adanya suatu penyeimbang atau pengganti yang dibenarkan dalam syariah.
2.1 Kontribusi Bank Islam Terdahulu
2.1.1 Perbedaan antara penjualan dan bunga
Untuk memahami prinsip finansial dalam Islam, kita harus mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara penjualan dan bunga. Kedua konteks ini berhubungan dengan pemerataan distribusi dan manajemen risiko yang efisien. Dalam transaksi berbasis bunga, risiko ditransfer kepada peminjam sehingga semua interest-bearing assets menjadi bebas risiko. Hal ini tidak adil secara sosial dan tidak efisien secara ekonomi.
2.1.2 Tujuan untuk pengembalian tetap dalam pembiayaan modal
Riba pada umumnya muncul akibat adanya peminjaman uang dari satu pihak ke pihak lainnya. Pihak yang meminjamkan uang seringkali menetapkan garansi pengembalian atas pembiayaan yang telah ia berikan kepada pihak lainnya. Dalam Islam, perlakuan seperti ini dikatakan tidak masuk akal dan irasional, sehingga tidak boleh dilakukan.

2.1.3 Evolusi pada prinsip finansial dari masa ke masa
Berdasarkan pembahasan di atas, banyak pemikir Muslim yang berpendapat bahwa pendekatan pembiayaan Islami harus berdasarkan modal pokok yang diinvestasikan di mana rate of return dari pembiayaan modal bisa berbeda-beda sesuai dengan rate of return yang diperoleh perusahaan. Aplikasi dari rate of return yang berbeda-beda dapat dilihat dalam dua bentuk, yaitu:
a.       Profit Sharing Principle (PSP)
Prinsip ini didasari atas prinsip mudharabah, yaitu kerjasama antara pemilik dan dan pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha, di mana laba dibagi atas dasar nisbah bagi hasil menurut kesepakatan kedua belah pihak dan kerugian akan ditanggung oleh pemilik dana kecuali kerugian yang disebabkan oleh misconduct dari pengelola dana.
b.      Profit and Loss Sharing Principle (PLSP)
Prinsip ini didasari atas prinsip musyarakah, yaitu kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian akan dibagi berdasarkan porsi kontribusi dana.
c.       Prinsip Lainnya
Pelayanan bank dapat dibuat berdasarkan prinsip ju’alah, yaitu kontrak antara klien dan bank dengan fees yang spesifik untuk pelayanan yang spesifik pula.
                            

 2.2 Prinsip Keuangan dalam Perspektif dari Bank Syariah
2.2.1 Kritik Atas Prinsip Bagi Hasil
Pertama, karakter yang dimiliki oleh prinsip mudarabah klasik adalah harus adanya hubungan bilateral. Bank berurusan dengan banyak dana depositor dan hal ini memtahkan pinsip bilateral. Itulah mengapa dibutuhkan mudarabah kolektif. Batasan kedua adalah profit didistribusikan dan setelah semua tahapan transaksi selesai. Batasan ketiga adalah mudarabah tidak bisa menyediakan layanan pembiayaan.
2.2.2 Pendanaan Berbasis Penjualan
Lima bentuk penundaan penjualan yang menimbulkan penundaan hutang:
1.      Salam sale (harga dibayarkan saat perjanjian dibuat tapi barang yang dijual menjadi debt in kind)
2.       Mua jjal sale (barang yang dijual dikirimkan saat perjanjian tapi pembayarannya menjadi utang)
3.      Istisna' sale (harga dibayarkan pada saat kontrak dibuat dan barang yang dijual dibuat dan dikirimkan kemudian)
4.      ljarah (penjualan atas hak dari aset dimana aset tesebut dikirimkan kepada pengguna, yaitu orang yang membayar sewa secara periodik)
5.      Murabahah li al 'amer bi al shira' (penjualan dengan jumlah keuntungan yang telah diketahui yang mungkin akan menciptakan utang)
                             
2.3 Konsep Kepemilikan dalam Islam
Kahf (1991) mencoba menjelaskan tentang  konsep pendanaan dan keuangan  dalam Islam. Mempelajari prinsip keuangan Islam, tidak akan terlepas dari konsep pembagian kepemilikan dalam menjalankan prinsip tersebut. Kepemilikan ini dijelaskan menurut karakteristik Islam yakni 1) kepemilikan memberikan pada pemilik untuk mendapatkan pendapatan, timbal balik serta nilai tambah yang dihasilkan. 2) pemilik terkait dengan penanggungan atas segala resiko diatasnya. Kedua karakter ini menjadi dasar pengklasifikasian kepemilikan dalam Islam. Selanjutnya dalam menjelaskan konsep kepemilikan dalam Islam, Rasulullah SAW menggunakan kata “Al Kharaj bi Al daman”, yang berarti kita berhak mendapat keuntungan selama berani menanggung kerugian.
Dalam konteks ini terdapat pendikotomian, antara konsep kepemilikan dengan pengelolaan dalam Islam. Kombinasi diantara keduanya, menciptakan tiga bentuk yaitu i) Pemilik dapat mengelola sendiri harta yang mereka memiliki, ii) pemilik dapat menyewa atau mengadakan kontrak tertentu dalam pengelolaan assetnya (mudharabah), iii) pemilik dapat menyerahkan pengelolaan assetnya dan bisa diambil keuntungannya kepada orang lain. Selanjutnya, Kahf (1991)  menjelaskan mengenai teknik commercial financing dimana para pemilik dapat menentukan sendiri bagaimana keputusan manajerial dari asset ataupun transaksi yang mereka miliki, apakah menjalankan sendiri ataupun dikelola oleh orang lain.
Oleh karena itu, pendanaan berbasis penjualan (sales-based financing) termasuk bentuk commercial financing karena merepresentasikan sang pemilik mengelola sendiri. Sharikah, Murabahah, Salam dan Mua’jjal adalah bentuk variasi dari commercial financing. Dalam commercial financing, hak untuk mendapat keuntungan berdasarkan dari kepemilikannya, selama kepemilikan atas harta tersebut memberikan manfaat. Kategori selanjutnya menurut Kahf adalah dipengaruhi oleh pemisahan antara kepemilikan dengan pengelolaan dalam term pembiayaan murni (“pure financing”). Contohnya adalah Mudharabah dimana kepemilikan dana ditanggung seluruhnya oleh pemilik, sedangkan pengelolaannya dipercayakan kepada orang ataupun pihak lain. Muzara’ah dan Musaqah hampir sama dengan Mudharabah kecuali satu hal yaitu : kepemilikan tanah dan pepohonan dalam keputusan pengembangan investasinya harus diambil oleh sang pemilik. Selama pengurusan tanah pertanian (sharecropper) dalam muzara’ah dan musaqah, mengambil sendiri keputusannya sama seperti sistem partner kerja dalam mudharabah.
Kategori ketiga pada penyewaan terdapat dua tipe pengambilan keputusan yang terpisah satu sama lain. Pertama, keterlibatan pengambilan keputusan terkait dengan aset itu sendiri (contohnya maintenance ataupun pemindahan hak pengelolaan asset itu sendiri). Poin kedua terkait dengan keputusan yang terkait dengan manajemen dan hak pengelolaan, keputusan ini biasanya diambil lessee.

Praktik Pendanaan pada Awal Periode Islam

1.1.  Pendanaan pada Zaman Rasulullah
Pada zaman Rasulullah, perdagangan merupakan aktivitas ekonomi yang utama di kalangan Quraish. Disebutkan pula bahwa pada saat peperangan Uhud, kaum Quraish telah mengenal riba untuk membiayai peperangan mereka. Selain itu pula bangsa Yahudi juga telah mengenal sistem riba ini yaitu dengan aktivitas pemberian pinjaman dengan tingkat bunga 12% per tahun. Sehingga pada saat itu aktivitas ekonomi dengan sistem riba menjadi yang paling utama di kalangan mereka.
Di kalangan Muslim sendiri, dikenal suatu sistem ekonomi lain yang dikenal dengan mudarabah, yang diperkenalkan oleh Khadijah. Secara teknis, al mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah – Suatu Pengenalan Umum, hal. 135)
Selain itu, di kalangan masyarakat pertanian Madinah, telah dikenal sistem pengolahan pertanian yang dikenal dengan muzara’ah dan musaqah. Muzara’ah adalah kerja sama pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap di mana pemilik lahan memberikan lahan pertanian kepada si penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (persentase) dari hasil panen. (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah – Suatu Pengenalan Umum, hal. 139) Musaqah adalah kerja sama pengolahan pertanian di mana si pengggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah – Suatu Pengenalan Umum, hal. 140) Sistem pengolahan pertanian ini terutama diterapkan pada pengolahan tanaman kurma pada zaman tersebut.
Sistem penjualan secara kredit juga telah ada pada zaman Rasulullah. Ada beberapa pernyataan bahwa Rasul pernah membeli secara kredit, mengajukan pinjaman, dan bahkan menggunakan harta pribadinya sebagai jaminan. Bai’al Salam juga merupakan salah satu cara pendanaan yang dikembangkan Rasulullah untuk mempermudah suatu hubungan ekonomi. Bai’al Salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari sementara pembayaran dilakukan di muka. (Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah – Suatu Pengenalan Umum, hal. 153)
Maka sejak zaman Rasulullah pemberian pinjaman dengan riba dilarang dan dihilangkan dari komunitas muslim. Bentuk pendanaan yang dominan pada zaman tersebut adalah mudarabah, penjualan kredit, muzara’ah, musaqah, dan bai’al salam.

1.2.  Kebutuhan Akan Pendanaan
Berdasarkan para pemuka-pemuka Islam, kebutuhan akan pendanaan muncul karena adanya perbedaan sumber kepemilikan keuangan dengan keahlian yang dimiliki. Sebagai contoh mudharabah terjadi karena tidak semua orang yang memiliki uang juga memiliki kemampuan berdagang, dan tidak semua orang yang memiliki kemampuan berdagang juga memiliki kecukupan modal. Oleh karena berdasarkan fiqih Islam, adanya perbedaaan sumber tersebut dan kebutuhan untuk mencocokkan sumber keuangan dengan keahlian bisnis menjadi alasan utama di balik adanya kebutuhan akan pendanaan.
Secara umum ada 2 poin lain di balik alasan terjadinya mudarabah, yaitu:
1.      Pertukaran atau perdagangan sangat diperlukan di dalam masyarakat
2.      Keinginan manusia untuk menumbuhkan kekayaannya
Kedua motif tersebut disertai dengan matching sumber keuangan dengan keahlian bisnis memerankan suatu pendanaan yang produktif, contohnya penggunaan dana untuk menghasilkan barang dan jasa dagangan. Proses ini selalu dihubungkan dengan adanya ekspektasi untuk mendapatkan profit atau return yang akan didistribusikan antara pemberi dana dengan pengusaha berdasarkan kesepakatan yang telah ditetapkan.



1.3.  Penundaan Pembayaran Hutang

Di dalam Al-Qur’an telah dikatakan bahwa jika debitor sedang dalam kesulitan (dalam membayar hutang), maka berilah ia waktu sampai mudah baginya untuk membayar. Kata-kata ini berkaitan dengan konteks bisnis peminjaman dan penghapusan riba. Pemikir Muslim terdahulu tidak pernah mengizinkan kompensasi pembiayaan apapun yang harus dibayarkan kepada kreditor. Hal ini disebabkan karena dalam Islam, upaya pembiayaan dilakukan dengan motif membantu orang lain dan ekpektasi untuk mendapatkan profit. Walaupun seperti kita ketahui saat ini, kegiatan peminjaman dana dilakukan dengan sengaja untuk tujuan pembiayaan. Akan tetapi, hal tersebut tidak berkaitan dengan faktor dalam pasar.

Prinsip Pendanaan dan Keuangan Islam

Pendanaan adalah suatu cara pengalihan sumber daya dari pemilik kekayaan ke unit yang membutuhkan dana. Ruang lingkup dari pendanaan berhubungan dengan konsep waktu, uang, dan risiko dan bagaimana keterkaitan antara ketiga hal tersebut. Pendanaan juga terkait dengan bagaimana uang dikeluarkan dan dianggarkan. Di dalam ekonomi konvensional, pendanaan dapat berupa pinjaman dengan bunga, mengeluarkan saham dan mengajukan kredit dalam bentuk tunggakan pembayaran dalam pembelian barang dan jasa.
            Dasar dari para pemikir Islam untuk mengidentifikasi sistem ekonomi berdasarkan bunga adalah adanya larangan secara eksplisit dari Allah di dalam Al-Qur’an. Adapun beberapa pengantar terkait ekonomi Islam antara lain:
1.      Syari’ah hanya dikenakan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kepemilikan sebuah aset untuk mendapatkan keutungan atau untuk meningkatkan nilai dari suatu aset.
2.      Seluruh hubungan pertukaran yang menunda pembayaran dari suatu harga atau pengiriman barang dan jasa memenuhi fungsi dasar dari pendanaan.
3.      Pemberian pinjaman (lending) adalah suatu hubungan yang saling menguntungkan yang tidak membuat kreditur meminta return karena kreditur tersebut bukanlah pemilik sumber pendanaan yang pembayarannya dijamin oleh debitur.
Di dalam sistem keuangan syariah itu sendiri ada beberapa prinsip yang harus dipatuhi, dimana prinsip-prinsip ini bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu:
1.    Pelarangan riba
Riba adalah segala kelebihan yang disyaratkan dan dibayarkan pada saat pengembalian pinjaman. Riba ini mencakup segala bentuk rate yang ditetapkan di awal sebagai syarat pinjaman yang dihitung berdasarkan waktu jatuh tempo dan besar pokok. Oleh karena itu, dalam sistem keuangan syariah tidak diperkenankan adanya segala bentuk pembayaran dan penerimaan bunga. Dalam prinsip ini sangat ditekankan nilai-nilai keadilan sosial. Karena, segala bentuk pinjaman tidak mensyaratkan pengembalian pokok ditambah bunga, melainkan profit sharing, yang besarnya sangat ditentukan oleh performa dan keberhasilan usaha yang pembiayaannya dibantu oleh investor dalam basis equity-sharing, bukan hutang. Profit sharing ini meniadakan unsur ketidakpastian sebagaimana terdapat dalam pembayaran bunga hutang, karena kita ketahui tingkat bunga bersifat mengikat dan memastikan pembayaran oleh peminjam bagaimanapun kondisi keberhasilan usahanya.
2.    Risk-sharing
Dalam sistem keuangan syariah, mereka yang kelebihan dana menyalurkan dananya tidak mengambil peran sebagai kreditor, melainkan investor. Tentu saja peran sebagai pemberi modal ini menjadikan mereka turut menerima risiko usahanya.
3.    Uang sebagai modal potensial
Uang memiliki sifat potensial sebagai modal, dan menjadi modal secara aktual hanya ketika uang tersebut sudah masuk ke dalam aktivitas usaha. Oleh karena itu, time value of money, dalam sistem syariah hanya terjadi ketika uang sebagai modal aktual.
4.    Pelarangan tindakan spekulatif
Di dalam syariah Islam dilarang melakukan segala kegiatan yang bersifat spekulatif yang dapat menimbulkan ketidakpastian. Oleh karena itu dalam setiap aktivitas keuangan di dalam Islam haruslah dinyatakan secara jelas resiko yang akan diahadapi dan keuntungan yang dapat diperoleh.
5.    Kesakralan perjanjian
Dalam sistem syariah, setiap transaksi memiliki nilai yang luhur, bahkan karena begitu penting dan sakralnya perjanjian, semuanya diatur dalam akad-akad yang bentuknya disesuaikan dengan setiap bentuk transaksi. Maka, semua kewajiban dalam kontrak dan segala informasi yang diperlukan kedua belah pihak harus benar-benar dipenuhi.
6.    Aktivitas yang diterima secara syari’ah

Pemilik dana hanya boleh berinvestasi ke dalam usaha yang aktivitas usahanya diterima secara syariah. Investasi ke dalam usaha misalnya usaha minuman keras dan perjudian menjadi tidak diperkenankan.

Konsep Investasi Dalam Ekonomi Islam

            Masa depan adalah hal yang ghaib yang tidak dapat diketahui oleh orang seperti apa masa depannya nanti. Sebagai seorang muslim kita dianjurkan berdo’a dan berusaha agar diberi kehidupan yang lebih baik. Ini berarti kita harus membuat perencanaan tentang usaha yang akan ditempuh. Dalam berusaha perencanaan jangka panjang biasanya dalam bentuk investasi.
            Dalam ekonimi Islam, penempatan dana untuk investasi tidak boleh bertentangan dengan kaidah syari’ah. Menurut Iqbal (2008, hal 117) sebelum melakukan investasi, seorang muslim perlu mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
a.         Tujuan mengadakan investasi
b.        Jangka waktu investasi
c.         Sumber dana keuangan untuk melakukan investasi
d.        Kemampuan menanggulangi risiko yang timbul akibat melakukan kegiatan investasi
e.         Alternatif investasi yang tersedia
f.         Informasi yang tersedia mengenai keadaan alternatif investasi tersebut
g.        Kemampuan menentukan pilihan investasi yang sesuai dengan syariah Islam
Ada beberapa jenis produk investasi yang bisa menjadi pilihan bagi seseorang yang melakukan investasi, diantaranya:
a.         Tabungan. Kelebihan produk ini adalah bahwa nilai nominal dari jumlah yang ditabungkan tidak akan berkurang (kecuali untuk biaya administrasi). Kalau misalnya menabung Rp100.000,00 per bulan, uang itu tidak akan berkurang, dan justru mendapatkan bagi hasil. Kelemahan produk ini adalah bahwa bagi hasil yang didapatkan tergantung pada keuntungan yang diperoleh bank syariah tersebut. Jika bank tidak mendapatkan keuntungan maka bagi hasil tidak diberikan.
b.         Deposito. Menabung pada deposito hanya bisa dilakukan sekali saja. Tidak seperti tabungan di mana kita bisa menabung secara bulanan. Kelebihan deposito, bahwa jumlah nominal yang dimasukkan dijamin tidak akan berkurang, dan mendapatkan return yang telah disepakati pada saat akad, biasanya berkisar antara 8% sampai 9%.
c.         Saham, Investasi saham sangat berisiko untuk turun nilainya. Hanya saja, tingkat risikonya berbeda-beda untuk masing-masing saham. Dengan saham bisa melakukan investasi secara periodik. Kelebihan saham adalah bisa memberikan kemungkinan untung yang tinggi, di atas produk tabungan dan deposito. Kelemahan saham adalah, kebanyakan harga saham sangat rentan terhadap krisis ekonomi. Saham juga memiliki kemungkinan rugi (berkurang nilai nominalnya).
d.        Properti. Properti sebenarnya lebih berisiko daripada saham. Dengan properti, bisa melakukan investasi sekali saja, tidak secara bulanan. Kelebihan properti pada saat terjadi inflasi tinggi, harga properti biasanya juga akan naik. Semakin tinggi inflasi, semakin tinggi harga properti. Kelemahannya, walaupun harganya tinggi, tetapi biaya daya beli menurun, maka jarang ada pembeli yang mau membeli properti. Kelemahan kedua, butuh dana besar untuk bisa membeli properti.
e.         Emas. Investasi dalam bentuk emas, biasanya berupa emas perhiasan maupun emas batangan. Ketika krisis ekonomi, emas biasanya naik harganya (biarpun sedikit). Menurut James Turk pendiri Gold Money dikutip dari Iqbal (2009, hal 69) emas memiliki delapan kelebihan, yaitu:
1.    Emas adalah komoditi yang special dan unik : Emas digali dari perut bumi dan terakumulasi di permukaan bumi. Emas tidak dikonsumsi, jadi jumlahnya terus bertambah. Meskipun demikian emas selalu menjadi barang langka karena emas yang ada di permukaan bumi ini diperkirakan hanya berkisar antara 150.000 ton – 160.000 ton saja.
2.    Suplai emas dunia terbatas pada yang berada di permukaan bumi : Karena tidak dikonsumsi maka total supply emas di seluruh dunia sama dengan jumlah seluruh emas di permukaan bumi. Kenaikan setiap tahun supply ini berkisar antara 1.5% - 1.7%.
3.    Emas adalah uang sepanjang zaman : Emas selalu menjadi uang dalam sejarah manusia, diakui ataupun tidak. Fakta pemerintahan-pemerintahan di dunia mengendalikan nilai uang kertasnya dengan mempengaruhi supply emas di pasar adalah sebuah pengakuan bahwa emas adalah uang yang sebenarnya.
4.    Emas adalah alternatif dari US$ dan mata uang kertas lainnya. Seluruh mata uang kertas turun nilainya dari waktu ke waktu karena uang baru selalu bisa dicetak kapan saja dan berapa saja pemerintah mau. Emas lah yang memiliki daya beli yang nyata, bukan US$, rupiah atau mata uang kertas lainnya.
5.    Daya beli emas sepanjang masa.
6.    Nilai emas ditentukan oleh nilai pasar : Meskipun pemerintahan-pemerintahan di dunia berusaha mempengaruhi harga emas dunia, kemampuan mereka terbatas dan makin lama makin habis pengaruhnya.
7.    Emas selalu dalam kondisi “Bull Market” : Tahun 1994 harga 1 dinar adalah Rp111.000,00 sekarang berharga Rp2.188.001 (12 September 2013) atau 1.341,20 US$/Onz. Artinya emas harganya naik 19,7 kali lipat dalam waktu 19 tahun terakhir. Akan tetapi dalam jangka pendek harga emas selalu bergejolak naik turun.
8.    Beli emas dalam bentuk fisik (berupa koin atau batangan) dan jangan membeli emas hanya dalam bentuk sertifikat : Jangan terlalu mengandalkan sistem perdagangan modern yang menggantungkan pada surat berharga dan sejenisnya, meskipun di back-up  dengan emas. Penggunaan secara fisik jauh lebih aman untuk keperluan investasi dan proteksi nilai.
f.         Mata uang asing. Pilihan investasi lain dengan cara membeli mata uang asing, dan berharap agar nilai mata uang asing yang dibeli akan naik nilainya kelak. Kelebihan mata uang asing, bahwa keuntungannya bisa sangat tinggi. Kekurangannya, risiko membeli mata uang asing sangat besar. Ini karena Indonesia, mata uang asing sangat fluktuatif nilai tukarnya, dan sangat rentan terhadap kebijakan Pemerintah, sehingga risiko berinvestasi dalam mata uang asing sebetulnya jauh lebih besar daripada saham. Selain itu, investasi dengan mata uang asing lebih rentan terhadap tindakan spekulasi yang bertentangan dengan syariah.
g.        Reksadana Syariah. Reksadana syariah merupakan intermediaries yang membantu surplus unit melakukan penempatan dana untuk diinvestasikan. Reksadana syariah merupakan bentuk investasi yang relative lebih aman dari saham, karena adanya diversifikasi investasi yang sudah dilakukan oleh para manajer investasi.

h.        Investasi langsung. Yang dimaksud dengan investasi langsung adalah investasi di sektor riil, perdagangan maupun jasa. Investasi langsung tergolong investasi yang berisiko tinggi karena menuntut berbagai keahlian, ketrampilan dan berbagai pengalaman berusaha. Sebanding dengan risikonya, investasi ini juga yang memiliki peluang untuk memberikan hasil, kepuasan dan manfaat yang paling tinggi bagi yang melakukannya.

Sunday, April 20, 2014

Konvergensi dan Divergensi antara Pendekatan Islam dan konvensional dalam Pengendalian Harga

Ada beberapa wilayah kesepakatan dan ketidaksepakatan di antara Islam dan posisi konvensional peraturan harga.Baik ekonomi islam dan konvensional sama-sama sepakat bahwa dalam keadaan pasar yang tidak sempurna, pengaturan harga selektif diperlukan.  Pengaturan harga dalam kasus  di mana individu tidak dapat melindungi kepentingan mereka dan dalam keadaan informasi asimetris maka penetapan harga diperlukan.
Kebijakan harga minimum dan maksimum pada keuntungan dan penyewaan di masa perang juga dapat diterima kedua ekonom. Ekonom Islam tidak memaksa 'Upah yang setara' saat itu karena jika permintaan tenaga kerja terampil meningkat dan tenaga kerja tidak terampil menurun, harga pasar tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar pekerja. Demikian juga kenaikan upah tiba-tiba pasti akan mempercepat inflasi.
Monopoli di dalam teks-teks Al-Quran dan hadis adalah perusahaan yang menahan pasokan komoditas dengan tujuan untuk keuntungan. Perusahaan Ini mungkin berbentuk monopoli biasa atau alam atau mungkin kumpulan perusahaan seperti oligopoli. Dasar bentuk monopoli  ini ditandai dengan menahan output untuk membebankan harga tinggi. Dengan demikian, kehadiran satu perusahaan yang menikmati skala dan cakupan ekonomi dalam pasar tidak dianggap sebagai monopoli dari sudut pandang fiqh kecuali terpaksa untuk penimbunan atau setiap tindakan ditentang oleh Undang-Undang. Konsekuensi logisnya, monopoli tidak dapat diterima secara Syariah.

  
Ekonom-ekonom islam terdahulu memang memperdebatkan boleh atau tidaknya pengaturan harga diciptakan. Setelah ditinjau dari beberapa penyebabnya, pengaturan harga itu boleh atau tidak boleh dilakukan tergantung dari kondisi atau keadaan yang dihadapi. Dahulu Rasulullah pernah bersabda, bahwa beliau tidak akan melakukan intervensi harga karena Allah yang berhak untuk menurunkan dan menaikkan harga. Rasulullah mengatakan bahwa tindakan pengontrolan harga adalah tindakan yang zalim karena mengakibatkan berbagai hal-hal negatif, seperti memicu penimbunan, memicu impor, dan yang lainnya.
Akan tetapi, pengaturan harga dalam Islam itu diperbolehkan dalam situasi dan keadaan tertentu, misalnya untuk mengatasi penimbunan dan tindakan penipuan lainnya. Selain itu, pengaturan harga diperbolehkan dalam bentuk-bentuk pasar yang tidak sempurna, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.  Pengaturan harga boleh juga dilakukan dalam keadaan normal, jika terdapat kesepakatan antara penjual dan pembeli dan tidak menimbulkan situasi yang terzolimi di antara dua pihak.
Pengaturan harga di konvensional dan islam itu intinya sama.Akan tetapi, ada beberapa hal yang membedakan,misalnya pengaturan harga di konvensional akan dilakukan jika harga dirasakan oleh pemerintah tidak terjangkau rakyat, walaupun rakyat merasa sebaliknya. Sedangkan, pengaturan harga di Islam ada dua perlakuan yang berbeda, i) dalam kasus dimana harga yang terbentuk di pasar tidak valid atau distorsi pasar,ii) harga yang terbetuk di pasar valid, tetapi harganya tidak dapat diterima karena terlalu mahal atau murah sehingga menzolimi salah satu pihak, maka pengaturan harga wajib dilakukan.
            Oleh karena itu, kami dapat mengatakan bahwa pengaturan harga dalam Islam itu diperbolehkan dan bahkan wajib dilakukan pemerintah asalkan ada sebab-sebab tertentu yang telah dikatakan sebelumnya. Dalam faktanya, memang pengaturan harga itu memilki dua efek yang saling bertentangan, yaitu efek positif dan negatif. Memang ada efek negatif dari pengontrolan harga, seperti menimbulkan penimbunan. Akan tetapi, kita juga harus melihat banyak efek positif yang ditimbulkan dari tindakan kontrol harga tersebut. Berdasarkan hal-hal yang telah kami uraikan sebelumnya, kami dapat menyimpulkan bahwa islam adalah agama yang paling sempuna dan tiada duanya karena islam sangat memerhatikan hal-hal kecil dan besar yang timbul dalam kehidupan sosial bermasyarakat, seperti dalam kasus ini yaitu kasus regulasi atau kontrol harga. 

Harga Valid dan tidak Valid dalam Ekonomi Islam

Syariah mengkategorikan harga sebagai harga valid dan harga tidak valid. Harga valid adalah harga yang terbentuk di pasar berdasarkan aturan dan hukum islam, i, e. harga yang berasal dari pasar yang bebas dari segala usaha yang disengaja untuk menipu, menipu, mengaburkan, berbohong, menyembunyikan atau menahan informasi yang relevan. Harga valid adalah  harga yang memenuhi persyaratan hukum syariah dalam proses pembentukannya.  Harga ini mungkin sama sekali atau hanya sebagian jujur dan adil, karena keadilan dan keadilan  tidak sepenuhnya didasarkan pada pertimbangan hukum.
Sehubungan hal tersebut, secara intuitif para ahli hukum mengatakan bahwa syari'at mengambil dua posisi, i.e.. memungkinkan ahli hukum untuk memerintah di pasar atau menolak intervensi tersebut karena adanya konflik  dengan keadilan dan kepentingan masyarakat.
Harga tidak valid, di sisi lain, adalah  harga yang tidak mengikuti  Persyaratan hukum Syariah dalam proses pembentukannya. Kemungkinan besar, tetapi tidak selalu, untuk  lebih tinggi daripada harga normal. Ketidakabsahan harga dapat terjadi dalam dua konteks; itu dapat terjadi karena sengaja melanggar aturan-aturan hukum, misalnya, beralih ke pemaksaan (ikhrah) atau penawaran palsu (najash); atau mungkin disebabkan oleh faktor-faktor otonom  seperti ketidaktahuan penjual. Harga tidak valid akan muncul di pasar jika terdapat kartel produsen untuk  mempengaruhi output atau menghalangi orang lain dari bersaing di pasar.

5,2 Harga yang dapat diterima dan dan  tidak dapat diterima
Agar harga pasar dapat diterima maka harga tersebut harus valid. Harga yang tidak valid sama sekali tidak dapat diterima.

5.2.1 Harga valid yang  dapat diterima
Harga valid yang dapat diterima terdiri atas  dua jenis: harga yang bebas dari cacat
dan mendistribusikan manfaat dan biaya pertukaran secara adil dan merata, dan harga dengan beberapa  cacat tetapi tidak menyebabkan perselisihan atau konflik di antara pihak-pihak untuk bertukar.
 
5.2.2 Harga valid yang tidak dapat diterima.

Harga valid yang tidak dapat diterima adalah harga yang terbentuk melalui mekanisme pasar yang normal dan sesuai dengan prinsip syariah. Akan tetapi, harga tersebut dinilai membawa mudharat, misalnya terlalu mahal (bagi pembeli) dan terlalu murah (bagi penjual)

Kasus implisit Fiqh Ekonomi Isam

Monopoli alamiah tidak diartikulasikan oleh para ahli hukum Islam, oleh karena itu, mereka tidak memperlakukan secara eksplisit keunggulan biaya. Hal ini jelas, namun mengambil keuntungan dari segi biaya untuk mengoptimalkan produksi dan memudahkan pasokan komoditas adalah tujuan syariah. Bin Ashur (1956:188) mencatat bahwa; "Memudahkan produksi dan distribusi komoditas adalah tujuan yang paling penting pertukaran dalam Syariah . “Oleh karena itu, skala dan lingkup ekonomi yang diinginkan diatur secara jelas dalam hukum Islam.
Quasi-monopoli tidak dipahami oleh para ahli hukum Islam. Mereka, bagaimanapun, menganalisa suatu pasar kompetitif di mana beberapa penjual yang berkuasa dapat melemahkan harga pasar dan menjual kurang daripada 'harga ekuivalennya'. Motif di balik tindakan “mulia” ini dapat saja baik, tetapi unsur keraguan tentang munculnya konsekuensi yang merugikan masyarakat membuat beberapa ahli hukum Islam  untuk menguji kembali legalitasnya. Bahkan,tindakan Khalifah Umar yang diriwayatkan oleh Imam Malik ini didasarkan pada perhitungan serupa dan itulah sebabnya kita menemukan dua pandangan yang berlawanan, beberapa mendukung kontrol harga dan sebagian lainnya untuk non-intervensi harga. Tapi quasi-monopoli adalah ilegal dan tidak diterima dalam praktik ekonomi Islam. Fenomena kegagalan pasar  cukup dipahami, tetapi tidak diungkapkan oleh ahli hukum Islam. Mereka bekerja keras secara ekstensif untuk menganalisis apa yang bisa disebut sebagai 'runtuhnya kompetisi ', suatu bentuk kegagalan pasar tidak diakui oleh para ekonom konvensional. 
Hukum Islam tidak secara jelas menjelaskan apakah perbedaan antara sosial dan kepentingan pribadi adalah syarat yang cukup untuk intervensi harga. Ini menimbulkan banyak pertanyaan mengenai derajat dan luasnya efek dan dampak dan / atau ketidaktergantungannya sebelum ada kebijakan yang akan diambil oleh negara. Ini diakui fakta bahwa perbedaan adalah kemungkinan yang kuat. Para ahli hukum percaya bahwa mewujudkan  keseimbangan yang sempurna adalah  tidak mungkin dan pasar mungkin saja gagal.
Syariah akan menuntut kasus-kasus kegagalan pasar diperiksa secara kritis jika mereka
memenuhi syarat untuk intervensi. Sebagai contoh, keberadaan pasar yang terlalu sedikit beroperasi tidak menimbulkan kerugian atau membahayakan kepentingan rakyat, sehingga tidak akan dilakukan  pengendalian harga.  Pembenaran penetapan harga akan memerlukan prasyarat pendahuluan bahwa orang  pasti akan sangat dirugikan oleh penetapan harga yang bebas. 
Masalah mendasar informasi asimetris ini ditujukan oleh para ahli hukum Islam di
aturan umum pertukaran. Para ahli hukum Islam telah mengizinkan ketidakpastian yang berkaitan dengan kuantitas yang tidak bisa dihindari dalam jumlah yang minimal, baik waktu penyerahan barang atau pembayaran, harga, dll. Argumen  diberikan untuk memaafkan ketidakpastian yang minimal adalah bahwa larangan lengkap akan  menyebabkan penderitaan dan kesulitan manusia. Bagaimana kita mengidentifikasi dan mengukur hal setiap kali kita dihadapkan dengan ketidakpastian yang minimal? Mungkin ini belum secara eksplisit dijabarkan oleh para fuqaha, tetapi dapat disimpulkan dan tidak diragukan lagi dari  Ibrahim Beg (1939:90), seorang ahli hukum Hanafi, menganalisis ghabn (overvaluation atau undervaluation): ghabn berarti kurang menghargai, dalam banyak kasus itu kecil. Dalam kasus ini disebut sebagai ghabn yang dapat  diabaikan. Tetapi dalam beberapa kasus kita juga menemukan ghabn signifikan yang dapat dianggap sebagai berlebihan. Perbedaan antara kedua dapat diamati dari angka perkiraan oleh penilai dari  komoditi yang bersangkutan. Misalnya, rumah dijual di  1.000 Guineas Mesir dan setelah penjualan rumah tersebut penilai yang berbeda memperkirakan nilai pada 1.100, 900 dan 1.050 masing-masing, ini ghabn yang dapat diabaikan.
Tetapi jika semua nilai yang valuers di lebih dari atau kurang dari 1.000 maka pembeli atau penjual berlebihan berbuat curang. Imam Malik mengamati bahwa untuk melestarikan keadilan yang berbasis gharar pertukaran tersebut dilarang (Ibnu Rusyd, nd: 146). 

Pro dan Kontra Kontrol Harga yang selektif

Walaupun kontrol harga dapat memfasilitasi keadilan dan kesetaraan dalam beberapa
kasus, akan tetapi control harga ini dapat pula menimbulkan biaya nominal yang cukup nyata. Berikut adalah beberapa keuntungan.
i)                    Meredam Efek Inflasi: Baik pada periode damai dan perang, inflasi dapat ditekan atau terkendali ketika kontrol harga dilengkapi oleh kebijakan tidak langsung, seperti pengawasan  kredit dan pinjaman publik. Tekanan inflasi jika dibiarkan akan mengikis pendapatan riil, menghambat investasi dan menciptakan kelangkaan.
ii)                   Pencegahan Perang Harga: Persaingan di pasar kadang-kadang memunculkan dimensi/ sisi buruk. Sebagai contoh, produsen besar dengan keuntungan finansial dapat melibas produsen kecil dalam perang harga dengan menjual jauh di bawah harga pasar. Menerapkan batas bawah harga yang mana seorang penjual tidak boleh kenakan akan dapat melindungi kepentingan usaha kecil.
iii)                Ketentuan Balanced Exchange: mengelompokkan harga hasil pertanian pada suatu level akan menstabilkan tingkat nilai mereka di tingkat manufaktur; melindungi pendapatan riil petani.
iv)               Mengontrol rate dari laba Monopoli: Monopolis akan berusaha untuk memaksimalkan keuntungan pribadi melalui predatory pricing. Monopolis kebutuhan seperti  utilisasi air dapat memanfaatkan sifat produk tersebut yang amat dibutuhkan masyarakat dan mengenakan  harga sangat tinggi bahkan melebihi kewajaran. Menetapkan suatu tarif air akan memperbaiki dan mengatur mereka akan mencegah kecenderungan ini untuk sebagian besar.
v)                  Memastikan Pengembalian yang  wajar ke Faktor-faktor Produksi: Fiksasi harga akan menjaga kepentingan tenaga kerja, modal, dan kewirausahaan kapanpun  kepentingan mereka dirugikan
vi)               Penghapusan Biaya Informasi: Informasi asimetris membebankan 
biaya kepada masyarakat. Jika harga yang berasal dari pasar dengan informasi asimetri tidak dikontrol, orang-orang akan berhenti berpartisipasi di pasar tersebut. Ini akan menciptakan kesulitan dan mengakibatkan hilangnya kesejahteraan. Namun, jika pasarnya menjual barang atau jasa yang penting ,orang akan dipaksa untuk membeli di bawah tekanan dan penguasaan penjual. Orang kerja dalam hal ini untuk memperoleh sebanyak mungkin pengetahuan dari komoditi yang bersangkutan, yang  tidak dicapai. Kontrol harga di sini akan meniadakan praktik yang berat dan sia-sia.
vii)             Stabilisasi Selama Darurat: Ada efek samping skala besar ketika terjadi 
mobilisasi besar-besaran sumberdaya ekonomi dalam perang seperti pasar gelap dan penimbunan. Kontrol Harga dan penjatahan yang dirancang dapat mencegah hal ini terjadi.
viii)            Memastikan Pemerataan Distribusi Manfaat dan Biaya Pertukaran: Keadilan
dan ekuitas yang merupakan landasan teori pertukaran dapat dijamin hanya
melalui regulasi harga dalam keadaan tertentu. Analisis yang berikut dalam
bagian berikutnya berkaitan dengan beberapa kasus.
  
Meskipun kontrol harga dapat menimbulkan beberapa keuntungan, namun control harga juga dapat menimbulkan beberapa kerugian sebagai berikut: 
i)        Terjadi  Disekuilibrium di Pasar: kontrol harga menyebabkan terjadinya destabilisasi pasar akibat distorsi dari mekanisme pertukaran dan alokasi barang dan jasa. Konsekuensi yang paling umum dari control harga adalah terjadinya kelangkaan (shortage) akibat  dari penimbunan. Penimbunan akan mendorong  munculnya tengkulak dan calo yang menjalankan pasar gelap yang dapat mengakibatkan terjadinya  inefisiensi.
ketidakseimbangan dalam Ekonomi: Dalam periode mobilisasi seperti halnya di masa perang, Pemerintah harus membuat beberapa spesifikasi mengenai utilisasi pabrik, material  dan input. Kontrol harga akan menimbulkankonsekuensi yang tak terelakkan seperti penciptaan tabungan yang dipaksakan dan  kesenjangan tabungan-investasi.

Kontrol selektif dalam Ekonomi Pasar Bebas

Alasan yang ditawarkan untuk pengendalian harga dalam perekonomian pasar bebas biasanya disesuaikan dengan waktu normal dan darurat (Galbraith, 1952:28-51). Sementara ,
pemerintah berpendapat bahwa pengendalian harga dalam ekonomi pasar bebas dilakukan dengan tujuan untuk pencegahan, langkah-langkah perbaikan, mencapai tujuan mobilisasi sumberdaya dan distribusi di masa perang atau dalam peristiwa bencana alam.
Untuk tujuan pembelajaran  ini, kita tidak perlu meninjau seluruh spektrum literatur di tampilan. Cukup untuk menganalisis aspek yang berhubungan dengan pasar tidak sempurna dan kegagalan pasar.

3.1  P asar tidak sempurna

Jenis-jenis pasar, seperti  monopoli, quasi monopoly,  duopoli dan oligopoli. Argumen  diberikan oleh para ekonom mendukung kontrol harga di bawah struktur pasar ini.
 
(i) Monopoli: Buatan dan alamiah
Dalam arti sempit, monopoli adalah pasar di mana hanya terdapat satu penjual komoditas yang tidak ada substitusi dekat. Ini kadang-kadang disebut sebagai 'monopoli mutlak'. Para ekonom seperti Lipsey (1971:255) berpendapat bahwa jenis monopoli ini biasanya dilakukan dengan kekerasan atau dengan ancaman. Pesaing potensial dapat terintimidasi oleh kemungkinan mulai dari sabotase sampai dengan perang harga.  Hal ini berarti bahwa masyarakat umum ditentukan oleh satu penjual yang menentukan harga pasar.
Sejumlah metode digunakan untuk memeriksa kekuatan monopoli yang berlebihan, misalnya, di Amerika,  Sherman Act of 1890 melarang praktek monopoli (Samuelson, 1973; 523-4). Juga di India, Undang-undang Monopoli dan Praktek Perdagangan Terbatas. Tahun 1969 ini dimaksudkan untuk membatasi konsentrasi kekuatan ekonomi dan untuk memeriksa monopoli dan praktek perdagangan terbatas oleh perusahaan dominan (Kumar,1982:911).
Salah satu bentuk kontrol harga dalam pasar monopoli, misalnya melalui bentuk kontrol harga dengan cara pembatasan harga (Eatwell,1987:1069). Dengan melalui pengaturan harga, negara dapat meminimalkan kesenjangan kesejahteraan dengan memiliki satu perusahaan yang menghasilkan output industri. Literatur pada subjek monopoli alam menunjuk pada fakta bahwa hal itu secara sosial diinginkan untuk mengatur mereka dan berbahaya secara sosial untuk memungkinkan mereka terkekang operasi.

(ii) Duopoli dan Oligopoli
Pasar di mana terdapat dua penjual disebut duopoli. Ketika beberapa penjual memasok sebagian besar permintaan pasar, pasar disebut oligopoli. Beberapa penjual diasumsikan saling terkait dan mampu mengerahkan pengaruh yang besar terhadap harga.
Untuk mengetahui mengapa harga oligopoli adalah dapat diatur, mereka harus melihat dalam konteks pembentukannya. Kebanyakan kartel bertujuan memaksimalkan keuntungan bersama dengan cara predatory pricing. Jika tindakan mereka berhasil, mereka tidak berbeda dari perusahaan monopoli. Tapi pada saat biaya marjinal menurun dalam industri, total output
harus dialokasikan untuk satu pemasok sehingga keuntungan bersama dapat dimaksimalkan. Perusahaan non-produksi akan diberi kompensasi untuk tidak memproduksi. Skema biasanya dirancang bagi para anggota untuk berbagi keuntungan ekploitasi harga.Oleh karena itu, oligopoli dikontrol melalui undang-undang anti-monopoli dan lembaga regulator dan komisi untuk mencegah hal itu terjadi
 
(iii) Quasi-Monopoli
Quasi-monopoli adalah pasar yang muncul ketika kartel rusak sebagai akibat dari dimiliki oleh beberapa anggota yang melemahkan kolusi untuk menetapkan harga. Scherer (1980:69) mencatat bahwa tindakan memperbaiki harga di tingkat monopoli menciptakan insentif bagi penjual untuk memperbanyak output di atas harga  yang disepakati.  Quasi-monopoli memang ada dalam kenyataan, misalnya, Organisasi Minyak Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC). Tidak ada cara khusus berurusan dengan quasi -  dalam literature peraturan. Mereka umumnya diperlakukan sebagai oligopoli untuk tujuan peraturan. Oleh karena itu perlakuan untuk pengaturan harganya pun sama dengan pengauran harga di pasar oligopoly.
3.2 Kegagalan Pasar
Kegagalan pasar terjadi ketika: (i) tidak ada pasar cukup, (ii) dengan bertindak diam-diam (konsumen dan produsen) menyembunyikan informasi, dan (iii) alokasi sumber daya yang tidak efisien. Kami hanya akan menjelaskan secara eksplisit aspek yang secara langsung berkaitan dengan harga.
Sebagian besar pengaturan pasar adalah oligopoli. Fenomena ini belum dominan dalam perekonomian berkembang (Greenwald & Stiglitz, 1986), secara luas ditemukan di Negara negara maju (Bacon & Eltis, 1976). Kurangnya jumlah pasar yang memadai menghambat alokasi sumber daya yang efisien dan arus informasi bebas.
Menambahkan pasar lebih banyak mungkin memiliki konsekuensi yang tidak diinginkan. Pada sisi penawaran, seorang agen yang mempunyai hak informasi istimewa akan  membatasi outpiut dan membuat keuntungan yang supernormal.
Mengingat informasi asimetris dari kegagalan pasar dan kecenderungan dari kedua pihak,yaitu maka dapat disimpulkan fakta bahwa dengan menambah pasar hanya akan membuat agen-agen berperilaku kompetitif  Maka, satu-satunya alternatif adalah untuk pembentukan kontrol harga.

Fakta-fakta yang disajikan dalam bagian ini mengungkapkan bahwa baik para ahli hukum islam dan ekonom konvensional mengakui konrol harga diperlukan untuk menjaga kepentingan swasta dan sosial  di bawah pasar tertentu kondisi. Namun, kontrol harga memiliki keuntungan, dan kerugian juga. Mari kita meringkas mereka dalam bagian berikut.

Penyesuaian kontrol Harga dalam Fiqh Tradisional

Harga telah ditentukan dalam pasar sejak permulaan pertukaran-tidak langsung dalam era pra-Islam. Kekurangan dalam pasar kemudian disempurnakan Nabi oleh pengajaran dan partisipasi. Ahli fiqh kemudian mengembangkan hukum intervensi pasar dengan merujuk pada prinsip yang dijalankan nabi. Terdapat dua fakta yang mendasari hukum terhadap pengaturan harga. Pertama, hadis yang dilaporkan Anas berkata “seorang laki-laki datang kepada Nabi untuk menetapkan harga tapi ia menolak. Seorang lelaki lain datang dan meminta jal yang sama; nabi berkata bahwa Allah yang menaikkan dan menurunkan harga, aku tidak ingin menghadapnya dengan beban ketidakadilan” . Kedua, Imam Malik melaporkan bahwa terdapat kejadian di Muwatta dimana Khalifah Umar akan memecat seorang penjual yang menjual dengan harga rendah. Imam Shafi’i, sebaliknya berpikir bahwa Khalifah Umar telah mendatangi rumah penjual itu, dan Shafi’i  menganggap bahwa Khalifah Umar memperhatikan kesejahteran rakyat. Jadi, kamu dapat menjual pada tingkat harga berapapun.
Empat mazhab besar, yaitu Malik, Hanafi, Shafi’i, dan Hambali masing-masing mempunyai pandangan  tetapi terdapat pertentangan dalam kesimpulan mengenai kontrol harga  dalam ekonomi Islam.
Pengikut Imam Shafiid an Imam Hambali tidak menyetujui kontrol harga dengan dua alasan: kelimpahan dan kelangkaan barang bergantung pada fenomena luar biasa; dan, jika harga dihasilkan dari sebab alamiah, kemudian penetapan harga adalah tindakan yang tidak adil terhadapa penjual. Imam Shamsuddeen Ibn Qudamah al-Maqdisi (d. 682 A.H.), fiqh Hambali berpendapat bahwa kepala pemerintah tidak mempunyai hak untuk mengatur harga barang di pasar. Seperti yang dikutip dari hadis dilaporkan oleh Anas ;
Dua fakta yang didapat dari hadis. Pertama, Nabi tidak mengontol harga walaupun tekanan orang terhadap dirinya. Kedua, Nabi menyamakan kontol harga dengan tidak adil(zalim) dan kezaliman adalah terlarang (Ibn Qudamah, 1374:44).

Ia mengkritik segala bentuk kontrol harga dan menyimpulkan bahwa hal itu selalu mendorong harga naik, melemahkan impor, mendorong pelarian modal, , memicu penimbunan, dan membebankan rakyat. Kontol harga tidak hanya membatasi kebebasan perusahaan tetapi juga mempunyai dua dampak berbahaya. Pertama, kelangkaan persediaan menciptakan pemasaran hitam, dan kedua, konsumen tidak dapat memenuhi kebutuhannya.
Jelas bahwa pandangan Ibn Qudamah berdasarkan pada hadis yang ia kutip. Kita juga harus meneliti keadaan yang sedang terjadi pada saat itu. Jika harga telah ditetapkan di luar Madinah, dan kemudian mendorong penetapan harga pada pedagang lokal adalah tidak diragukan lagi merupakan tindakan zalim.
Bagaimana jika situasinya berbeda yaitu pedagang lokal melakukan penimbunan yang menyebabkan kenaikan harga. . Imam ibnu Tarmiyah menulis:

Imam muslim melaporkan dalam Sahihnya dari Muammar bin Ambdullah bahwa Nabi berkata penimbunan adalah tindakan yang hanya dilakukan oleh Pendosa. Penimbun adalah orang yang membeli padi yang banyak dibutuhkan orang dan meletakannya jauh dari jangkauan mereka sehingga harga menjadi naik. Sehingga pemerintah mempunyai hak untuk memaksa penjual menjual padi pada harga pasar saat orang membutuhkannya (Ibn Taimiyah, 1976:14).

Ibn Tarmiyah menyimpulkan bahwa : “ketika kebutuhan dan keperluan rakyat tidak dapat dijamin dengan kontrol harga yang adil, kemudian kontrol harga berbasis keadilan dapat diterapkan-tidak lebih, tidak kurang” (Ibn Taimiyah,1976:37).
Ibn Habib menyimpulkan bahwa:


Imam harus memanggil seluruh pihak untuk negisiasi harga, seperti pedagang partai besar, pembeli, dan ahli lainnya. Opini mereka akan didengarkan dan perkiraan dibuat pada tingkat dimana mereka membeli dan menjual dalam pasar. Persetujuan yang dicapai akan menguntungkan penjual dan diterima secar sosial tanpa paksaan